A. Pengantar
Sosok nāyaka Muhammad
Hanafiah dimunculkan dari sastra Islam Asia Tengah, khususnya Arab, yang
ditransformasikan dalam bentuk hikayat Islam Melayu tertua di Pasai dalam tahun
80-an pada abad ke-14, yaitu Hikayat Muhammad Hanafiah. Hal demikian juga
dijumpai pada dua tokoh nāyaka Islam lain, yakni Iskandar Zulkarnain dan
Amir Hamzah, yang naratifnya ditransformasikan ke dalam bentuk hikayat Islam
Melayu menjadi Hikayat Iskandar Zulkarnain dan Hikayat Amir Hamzah
pada kurun waktu 20-30 tahun setelah Hikayat Muhammad Hanafiah digubah.
Ketiga hikayat tersebut oleh Brakel dipahami sebagai “inti sastra hikayat
Melayu” (Braginsky 1998: 128; Brakel 1979: 16).
Di antara ketiga
hikayat Islam Melayu yang disebutkan di atas, akan dijadikan pusat perhatian
pada karya sastra hasil dari transformasi Hikayat Amir Hamzah. Hikayat
ini memuat naratif mengenai peran penting Amir Hamzah sebagai nāyaka
Kuraisy yang berhasil membantu Nabi Muhammad dalam setiap mengislamkan para pratināyaka-nya
di déśa-déśa di luar Mekah-Madinah. Ia menjadi tersohor karena yuddha-yuddha-nya
selalu berakhir dengan nāyakâbhyudaya, meskipun pada akhirnya ia
gugur pada saat melaksanakan āji dengan raja Lahad (versi Melayu). Dalam
hikayat ini dipahami Amir Hamzah sebagai palupi yang tepat, karena
dengan rasa bhakti-nya yang luar biasa kepada Nabi Muhammad, ia
dapat mengislamkan musuh-musuhnya yang telah ia taklukan dengan vīrarasa yang
ia dasari utsaha (Braginsky 1998: 131-133).
Dalam perkembangan
lebih lanjut, Hikayat Amir Hamzah ditransformasi dari tradisi sastra
Islam Melayu ke dalam tradisi sastra Islam Jawa, di antaranya ialah Sěrat
Ménak dan Sěrat Rěngganis yang berbahasa Jawa. Dari kedua sěrat
itu, Sěrat Rěngganis menjadi pusat perhatian pada tulisan ini. Sěrat
Rěngganis menceritakan mengenai Dèwi Rěngganis dari Pěrtapaan Argapura
sebagai nāyikā dan Pangèran Kélan dari Kerajaan Kuparman sebagai upanāyaka
dalam naratifnya (lih. Poerbatja-raka 1952: 111-119). Dewasa ini, terdapat
sembilan manuskrip Sěrat Rěngganis yang terdaftar dalam katalog naskah
Museum Sonobudoyo Yogyakarta, yakni: (1) Sěrat Rěngganis L217a, satu
naskah dengan Sěrat Ménak Saréhas sampai Ménak Laré; (2) Sěrat
Rěngganis L294, satu naskah dengan Sěrat Baṭara Rama oleh dua
penulis yang berbeda; (3) Sěrat Rěngganis L308, tidak merupakan bagian
episode Ménak Saréhas dengan Ménak Talsamat; (4) Sěrat
Rěngganis L309, alih aksara dari MSB/L308; (5) Sěrat Rěngganis
L310, penulisan kembali dari MSB/L308; (6) Sěrat Rěngganis L311,
penulisan belum selesai dan teks hampir sama dengan MSB/L308; (7) Sěrat
Rěng-ganis L313, cerita sampai pada Dèwi Kadarwati diminta Rěngganis supaya
menjadi istri Rěpatmaja; (8) Sěrat Rěngganis L314, penulisan belum
selesai dan teks hampir sama dengan lontar E.25 di Museum Nasional; dan
(9) Sěrat Rěngganis L315, naskah belum dibuat deskripsi lengkap, tidak
dimikrofilm oleh Proyek Mikrofilm Museum Sonobudoyo, karena rontal telah
rusak berat (Behrend 1990: 347, 389, 397-400).
Berdasarkan hal di
atas, agaknya naratif Sěrat Rěngganis L313-lah yang di-transfigurasi ke
dalam bentuk naskah ketoprak berjudul “Rěngganis” gubahan Handung Kusudyarsono.
Selanjutnya, naskah kěṭoprak itu dipentaskan oleh Kěṭoprak Mataram
“Sapta Manḍala Kodam VII Dipaněgara” dan direkam serta diproduksi dalam bentuk
kaset rekaman oleh Bintang Fajar Record. Kaset bernarasikan teks kěṭoprak
lampahan Rěngganis tersebut akan menjadi pusat perhatian pada penelitian
ini. Kemudian mengenai teori yang akan digunakan dalam penelitian ini, akan
diuraikan pada bagian selanjutnya.
B. Kāvyâlaṃkāra
Teks kěṭoprak lampahan Rěngganis ini akan dibahas
dengan berdasarkan teori estetika Sansekerta yang disusun oleh Bhāmaha dalam kāvyâlaṃkāra.
Itivṛtta ‘alur’ merupakan rangkaian-rangkaian peristiwa dalam kaitannya
dengan hubungan sebab-akibat yang ditata dan direlasikan secara artistik dan
serasi. Rangkaian naratif ini memunculkan lima avasthā ‘tataran’, yakni:
(1) prālambha ‘permulaan’; (2) prayatna ‘upaya’; (3) prāptisambhāva
‘harapan dan keputusasaan’; (4) nyayataphalaprāpti ‘ketidakpastian dan
kepastian’; dan (5) phalaprāpti ‘keberhasilan akhir’ (cf NŚ XIX, 7
dalam Widyaseputra 2009: 6). Berkaitan dengan lima avasthā, dijumpai
lima saṃdhi, yaitu: (1) mukha ‘benih alur yang bermula dari
berbagai macam rasa’; (2) pratimukha ‘bertunasnya benih yang ditampakkan
secara parsial’; (3) garbhā ‘perkembangan penuh hingga mencapai titik
puncak yang sama di dalam mencapai keinginan’; (4) vimarśa ‘pengkajian
terhadap pencapaian keinginan’; dan (5) nirvahana ‘kesimpulan: memadukan
semua benang penghubung dan mengantar alur menuju sasaran akhir’ (Widyaseputra
2009: 6; Pande 1993: 14; Hooykaas 1958: 45; cf Vāgbhaṭa dalam Kāvyānuśāsana).
Selanjutnya dalam rangka mendalami itivṛtta
teks Kěṭoprak Lampahan Rěngganis, dimanfaatkan pemikiran Bhāmaha (Kāvyâlaṃkāra
I, 19) yang menyata-kan sebagai berikut:
sargabandho
mahākāvyaṃ mahataṃ ca mahac ca yat,
śragrāmya śabdam
arthyaṃ ca sālaṃkāraṃ sadṛśyam
Untaian sarga-sarga
adalah mahākāvya, yang (membicarakan) hal-hal besar,
dan memang agung,
menghindari
ketidaksopanan ekspresi, mempunyai makna, memuat gaya-gaya bahasa, dan
berbicara tentang kebaikan.
(Sastry 1970: 7).
Berdasarkan śloka Bhāmaha
di atas dapat dikatakan bahwa lampahan kěṭoprak : (1) harus memiliki
tema yang agung dan ditinggikan; (2) harus memasukkan semua rasa yang
kanonik; dan (3) harus mengacu pada caturpuruṣārtha ‘empat tujuan hidup
manusia’. Dari pengertian itu dapat ditunjukkan bahwa itivṛttā teks lampahan
kěṭoprak secara bersamaan memberi sumbangan kepada makna pada semua
tataran: epik-mite-ritual (Widyaseputra 2009: 7; cf Kāvyādarśa I, 14-22;
Peterson 1991: 218; Shetterly 1976; Tubb 1979; Smith 1985).
Penelusuran makna lampahan Rěngganis dapat diikuti dari
kehadiran nāyaka dan pratināyaka di sepanjang itivṛtta lampahan kěṭoprak, dan penelusuran makna
melalui kehadiran kedua karakter itu akan berlandaskan pada Kāvyâlaṃkāra.
Dalam hal ini Bhāmaha (Kāvyâlaṃkāra I, 22-23; cf Kāvyādarśa I,
14-19) menjelaskan sebagai berikut:
nāyakaṃ prāg
upanyasya vaṃśavīryaśrutādhibhiḥ,
na tasyaiva vadhaṃ
brūyād anyotkarṣabhidhitsayā
yai kāvyaśarīrasya na
sa vyāpitayeṣyate,
na
cābhyudayabhāktasya mudhādau grahaṇaṃ stave.
Setelah mendudukkan nāyaka
di tempat pertama dengan memuji leluhur, keberanian, (dan) pengetahuan
sucinya,
janganlah berbicara
tentang penghancurannya dengan ingin meninggikan sanjungan kepada yang lain.
Apabila ia tidak akan
dihadirkan ke dalam batang tubuh kāvya,
dan tidak apat ambil
bagian alam kesuksesan, tidak ada gunanya ia diceritakan pada permulaan.
(cf. Sastrulu 1952:
8-10; Sastry 1970: 8-9)
Dari śloka di atas dapat
diperoleh pengertian bahwa nāyaka hadir di sepanjang kāvyaśarīra,
mulai awal sampai dengan akhir cerita, dan tidak boleh dibunuh (Widyaseputra
2009: 7; Gerow 1971: 29ff; cf. Kuiper 1979: 209-213), di samping itu, akhir
dari naratif yang dipaparkan dalam kāvyaśarīra, harus menguntungkan.
Seorang nāyaka yang termahsyhur tidak boleh dibinasakan. dengan
berlandaskan pada konsep estetika kāvya, sebuah lampahan kěṭoprak
sebaiknya memperlihatkan pengertian nāyaka berhasil mencapai kebajikan,
kesejahteraan, dan kebahagiaan, meskipun sutradara akan membuat
pencampuran antara bahagia dan menderita. Dalam penutupan lampahan kěṭoprak
lebih baik selalu dihasilkan pengalaman estetik yang mengagumkan. Bagian
penutup itu seharusnya juga berisi pemberian anugerah (kebahagiaan), yang lebih
jauh kepada nāyaka, dan pula
puji-pujian baginya (Widyaseputra 2009: 8; cf. Warder 1989: 26-27). Sementara
itu, pratināyaka adalah tokoh yang
berseberangan dengan nāyaka, dan pratināyaka inilah yang menjadi sarana
penentu dipuji-pujinya nāyaka pada
akhir lampahan kěṭoprak (lih. Kaset Rěngganis yang diproduksi Fajar Record;
Widyaseputra 2009: 8; cf. Warder 1990a: 105-106).
Kehadiran kedua
karakter: nāyaka dan pratināyaka tentunya dipaparkan di
sepanjang itivṛtta, dan itivṛtta itu dibagi menjadi sejumlah satuan-satuan naratif, yaitu:
(1) nagara ‘lukisan tentang kota’;
(2) ṛtu ‘lukisan enam musim’; (3) candro-daya ‘terbitnya bulan’; (4) arkodaya ‘terbitnya matahari’; (5) udyanasalīlakrīḍa ‘bercengkerama di taman atau air’; (6) udyanakrīḍa ‘bercengkerama di taman’;
(7) salīlakrīḍa ‘bercengkerama di
air’; (8) madhupānaratotsava
‘bersenang-senang dengan minuman dan cinta; (9) vipralambha ‘pedih karena perpisahan’; (10) vivāha ‘perkawinan’; (11) kumārodayavarṇana
‘deskripsi tentang lahirnya dan tampilnya seorang pangeran’; (12) mantra ‘perundingan’; (13) prāyaṇa ‘perjalanan’; (14) āji ‘peperangan’; (15) nāyakābhyudaya ‘puji-pujian bagi sang
pahlawan’; (16) ṛddhimat ‘akhir yang
membahagiakan’; (17) asaŋkṣipta
‘tidak dipadatkan’; (18) rasa-bhāvanirantara
‘selalu diliputi suasana hati dan emosi puitis’; (19) anativistīrṇaḥ, ‘tidak diperpanjang’
(Widyaseputra 2009: 8; Hooykaas, 1958: 42-44). Satuan-satuan naratif yang
membentuk itivṛtta dipandang sangat penting untuk ditunjukkan, karena itivṛtta
merupakan kerangka atau struktur dasar yang menjadi ruang berlangsungnya
perkembangan rasa; dan seperti yang
ditunjukkan oleh Gary Tubb, karya: tujuan utama yang mengarahkan aksi pokok
karya itu, dianggap sebagai elemen sentral di dalam analisis itivṛtta.
Secara praktis dapat dikatakan bahwa kāvya adalah arti menyeluruh, yang menghubungkan bagian-bagian
berbeda dari sebuah karya yang utuh (Widyaseputra 2009: 8; Tubb, 1979: 142-150;
Peterson, 1991: 217). Esensi rasa digunakan untuk memperkuat makna di
dalam struktur-struktur naratif, rasa meliputi: (1) sṛnggara
‘asmara’; (2) hasya ‘komik’; (3) karuṇa ‘belas kasihan’; (4) raudra
‘ganas’; (5) vīra ‘kepahlawanan’; (6) bhayanaka ‘khawatir’; (7) bibhatsa
‘ngeri’; (8) adbhuta ‘takjub’; (9) śānta ‘tenang’; dan (10) bhakti
‘kasih Ilahi’(Widyaseputra 2012 bab III; Hooykaas, 1955; 1958; Supomo, 1977: I;
Wiryamartana, 1990).
Usaha Dèwi Rěngganis
untuk menjodohkan Pangèran Iman Suwangsa dengan Dèwi Kadarwati didasari oleh
nasihat ayahnya, Běgawan Manikmaya, yang menuturkan bahwa Pangèran Iman
Suwangsa bukanlah jodohnya. Dengan berdasakan rasa karuṇa yang ia
miliki, Dèwi Rěngganis ikhlas melepaskan dan memberikan Pangèran Iman Suwangsa
kepada Dèwi Kadarwati. Perkembangan rasa
yang paling pokok dalam teks kěṭoprak lampahan Rěngganis yang ditandai dengan
memuncaknya perseteruan antara Dèwi Rěngganis dan Rěsi Masuji, yang pada saat
itu sedang adanya pertempuran hebat di Kuparman, sebaiknya dicermati dalam konteks
tujuan heroik yang menjadi arah dari gerak utama teks kěṭoprak lampahan Rěngganis.
C. Strukur Naratif Teks Kĕṭoprak Lampahan Rěngganis
Secara umum, didapati
genre vīracarita pada Hikayat Amir Hamzah selaku prototipe, Sěrat Rěngganis, dan naskah kěṭoprak lampahan Rěngganis sebagai
transformasinya. Bila dicermati secara etimologis, vīracarita terdiri dari dua kata bahasa Sansekerta, yakni vīra dan carita. Secara
harfiah, vīra memiliki arti ‘pahlawan’,
‘pemimpin’, atau ‘pemenang’ dan seringkali dipergunakan untuk perbincangan
tentang sikap-sikap yang heroik (Macdonell 1954: 293), sedangkan kata carita mempunyai
arti ‘perilaku’ dan kerapkali dipergunakan untuk perbincangan tentang kebiasaan
yang baik, mulia, dan pantas (Macdonell 1954: 92), tetapi apa yang seharusnya
dimengerti sebagai etika paling sering dimasukkan ke dalam kategori dharma. Akan tetapi, permasalahannya
“bagaimanakah konsep dharma dalam vīracarita itu?”. J.A.B. Van Buitenen telah membuktikan bahwa di sepanjang vīracarita Mahābhārata, dharma sebaiknya
diterjemahkan dengan “hukum” dan rupanya dapat dipahami dalam pengertian yang sama
dengan pengertian Hukum dalam tradisi Jawa Kuna (Widyaseputra 2009: 1; cf.
Jonker 1885; Hoadley and Hooker 1981). Dharma
dipahami sebagai pengertian yang mendalam tentang moralitas yang dihayati oleh
pribadi yang bijak. Juga dikenali bahwa dharma
tidak selalu “dipahatkan pada batu”, tetapi dihayati dan mungkin hanya
dapat dipahami dengan kontemplasi yang dalam. Di samping itu, pengertian hukum tampaknya memang
mengabaikan aspek deskriptif dari dharma,
karena dharma bukan hanya aspek yang
sebaiknya dilakukan oleh seorang pribadi, tetapi harus menjadi sifat dasar
setiap pribadi (Widyaseputra 2009: 1; Sutton 2000: 293-294). Oleh
karena itu untuk memahami konsep dharma dalam
naratif teks kĕṭoprak lampahan Rĕngganis yang
bergenre vīracarita, diperlukan teori
Bhāmaha untuk menguraikan konsep tersebut. Di bawah ini akan diuraikan teks kĕṭoprak lampahan Rĕngganis dengan menggunakan
kāvyalaṃkara dari Bhāmaha dengan langkah-langkah:
(1) Menyajikan garis besar naratif teks kĕṭoprak lampahan Rěngganis; (2) Menguraikan
nāyaka dan pratināyaka dalam naratif teks kĕṭoprak lampahan Rěngganis; (3)
Menunjukkan sambandha setiap
satuan-satuan naratif naratif
teks kĕṭoprak lampahan Rěngganis; dan (4) Menguraikan itivṛtta dalam naratif teks kĕṭoprak lampahan Rěngganis.
Selanjutnya, penguraiannya ditunjukkan sebagai berikut.
C. 1. Garis Besar Naratif Teks Kěṭoprak
Lampahan Rěngganis
Dalam rangka menelusuri nilai
estetika yang terdapat dalam teks kěṭoprak lampahan Rěngganis, di bawah
berikut ini akan disajikan garis besar naratif lampahan itu, yang akan disusun dengan menggunakan sistem itivṛtta yang diikuti oleh Indira V.
Peterson untuk memaparkan Kirāṭārjuṇīya
karya Bhāravi (Peterson 1991: 218-219). Adapun garis besar naratif teks kĕṭoprak lampahan Rěngganis itu
sebagai berikut:
Garis Besar
Naratif Teks Kěṭoprak Rěngganis
|
|
|
Déśa
|
Itivṛtta
|
Rasa
|
|
|
|
Něgara
Kuparman
|
Perbincangan Prabu Jayèngrana dengan
Adipati Umarmaya dan Raja Umarmadi tentang keberadaan Běṭara Nurséwan yang
tidak ada di Negara Médayin maupun Negara Kuparman (āsir); Pangèran Iman
Suwangsa mendatangi Prabu Jayèngrana, melaporkan bahwa Běṭara Nurséwan dan
Patih Běstak berada di Negara Mukadam (mantra); Prabu Jayèngrana
mengutus Adipati Umarmaya dan Raja Umarmadi pergi ke Mukadam untuk memastikan
laporan Pangèran Iman Suwangsa mengenai keberadaan Běṭara Nurséwan (dūta).
Tujuan: Dharma
|
Bhayanaka
dan Vīra
|
|
|
|
Taman Banjaransari
|
Dèwi Rěngganis dengan wujud yang
tidak nampak mendatangi Taman Banjaransari (nāyaka); Dèwi Rěngganis
bermain-main, memetiki bunga-bunga Taman Banjaransari, dan mengganggu kedua
abdi Pangèran Iman Suwangsa (udyana-salila-krida); Pangèran Iman Suwangsa memarahi kedua
abdinya, karena dinilai tidak mampu menjaga Taman Banjaransari sehingga
bunga-bunga dipetik oleh orang yang tidak menampakkan wujud aslinya (mantra);
Pangèran Iman Suwangsa tidak menjadi marah dan malah jatuh cinta ketika
melihat wujud nyata Dèwi Rěngganis (mantra); Pangèran Iman Suwangsa
memikat hati Dèwi Rěngganis dan ingin meperistrinya (rasabhāvanirantara);
Dèwi Rěngga-nis menolak dan meninggalkan Pangèran Iman Suwangsa (vipralambha);
Pangèran Iman Suwang-sa mengejar Dèwi Rěngganis ke Pertapaan Argapura (prāyana).
Tujuan: Dharma
|
Karuṇa
|
|
|
|
Pěrtapan
Argapura
|
Nasihat Běgawan Manikmaya kepada Dèwi
Rěngganis bahwa Dèwi Rěngganis tidak ditakdirkan berjodoh dengan Pangèran
Iman Suwangsa (mantra); Pangèran Iman Suwangsa sampai pada Pěrtapan
Argopura, ditemui Běgawan Manikmaya (prāyana); Dèwi Rěngganis berniat
menjodohkan Pangèran Iman Suwangsa dengan Dèwi Kadarwati (mantra).
Tujuan: Artha dan Dharma
|
Bhakti
|
|
|
|
Kraton
Něgara
Mukadam
|
Patih Běstak bersama Běṭara
Nursèwan datang kepada Prabu Mukaji di Něgara Mukadam (prāyana); Atas
hasutan Patih Běstak, Prabu Mukaji bersedia untuk: (1) melindungi Běṭara
Nurséwan dari Amir Ambyah; (2) menyerang Něgara Kuparman; dan (3) menjodohkan
Pangèran Hérman dengan Dèwi Kadarwati (mantra); Rěsi Majusi meramalkan
bahwa Něgara Mukadam akan didatangi seorang maling yang akan menculik
Běṭara Nurséwan (mantra); Prabu Mukaji, Rěsi Majusi, dan para pembesar
Mukadam membuat perangkap untuk menangkap maling yang telah diramalkan
itu (mantra).
Tujuan : Artha
|
Raudra
|
|
|
|
Něgara
Mukadam
|
Adipati Umarmaya dan Raja
Umarmadi memikirkan cara untuk memastikan keberadaan Běṭara Nurséwan di Mukadam dari luar
benteng Mukadam (mantra); Raja Umarmadi gagal menahan Adipati Umarmaya
supaya tidak
memanjat benteng Mukadam (mantra); Adipati Umarmaya berhasil ditangkap
dan diceburkan ke Sumur Upas oleh Resi Masuji dan Prabu Mukaji (āji);
Raja Umarmadi sedih dengan nasib buruk yang menimpa Adipati Umarmaya sehingga
ia kembali ke Kuparman untuk melaporkan peristiwa tersebut (prāyana).
Tujuan : Artha
|
Raudra dan
Karuṇa
|
|
|
|
Taman
Mukadam
|
Dèwi Kadarwati yang ditemani Ěmban,
sedang bercengkerama di Taman Mukadam (udyāna-kriḍa); Dèwi Rěngganis
dan Ěmban menghibur Dèwi Kadarwati yang sedang bersedih hati karena akan
dijodohkan dengan Pangèran Hèrman (mantra); Pangèran Iman Suwangsa
muncul dan mengaku sebagai wujud samaran Dèwi Rěngganis hingga Dèwi Kadarwati
terhibur dan menyukai Pangèran Iman Suwangsa (mantra); Atas prakarsa
Dèwi Rěngganis, Dčwi Kadarwati mau diperistri Pangčran Iman Suwangsa (mantra);
Ěmban memberitahu Pangèran Iman Suwangsa bahwa Adipati Umarmaya dikurung di
Sumur Upas dan akan dihukum mati oleh Prabu Mukaji (mantra); Dèwi
Rěngganis, Pangèran Iman Suwangsa, Dèwi Kadarwati, dan Ěmban pergi ke Sumur
Upas untuk menyelamatkan Adipati Umarmaya (prāyana).
Tujuan : Dharma
|
Karuṇa dan
Śṛṅgara
|
|
|
|
Sumur
Upas
|
Dèwi Rěngganis mengeluarkan
kesaktiannya untuk menyingkirkan batu besar yang menutupi Sumur Upas (āji); Dèwi
Rěngganis, Pangèran Iman Suwangsa, dan Dèwi Kadarwati membantu Adipati
Umarmaya keluar dari Sumur Upas, mereka lalu pulang menuju ke Kuparman (prāyana);
Prabu Mukaji beserta para prajurit Mukadam mengejar mereka (prāyana).
Tujuan: Kāma
|
Vīra dan Raudra
|
|
|
|
Něgara
Kuparman
|
Yuddha Dèwi Rěngganis dan
Rěsi Majusi, Rěsi Majusi gugur (nāyakâbhyudaya); yuddha Prabu
Mukaji melawan Prabu Jayěngrana, Prabu Mukaji gugur (āji);
prajurit-prajurit Mukadam yang kalah melarikan diri (asaṅkṣipta).
Tujuan: Artha dan Dharma
|
Vīra
|
Selanjutnya akan diuraikan nāyikā-pratināyaka, sambandha, dan itivṛtta
pada C. 2. berdasarkan garis besar struktur naratif teks kĕṭoprak lampahan Rěngganis yang telah disajikan di atas.
C. 2. Nāyikā dan Pratināyaka
Dari titik pandang varṇa,
Dèwi Rěngganis dalam naratif teks kĕṭoprak lampahan Rěngganis didudukkan sebagai nāyikā, sedangkan Rěsi Majusi sebagai pratināyaka. Keduanya
memiliki kedudukan yang sama, yakni brāhmaṇa, karena keduanya terkait dengan masalah
religi dan teologi. Di dalam kanon Mokṣadharma dinyatakan bahwa seorang brāhmaṇa sebaiknya melaksanakan ritual-ritual dan melaksanakan yajña. Ia mempelajari pustaka suci dan mengajarkannya. Sementara itu, di
dalam ajaran Rājadharma dinyatakan bahwa kṣatriya sebaiknya memberi
tanpa menerima dāna, melaksanakan yajña meskipun bukan
sebagai brāhmaṇa, selalu melindungi rakyatnya, aktif dalam
menumpas kejahatan, dan memperlihatkan kepahlawanannya di raṇānggana (Widyaseputra 2009: 24). Karakter brāhmaṇa dan kṣatriya dapat dijumpai pada nāyikā naratif teks Kĕṭoprak Lampahan Rěngganis, yang tidak lain
adalah Dèwi Rěngganis, sehingga Dèwi Rěngganis disebut juga kṣatriya-saṃnyāsin.
Dalam hal ini, baik Dèwi Rěngganis maupun Rěsi Masuji memang pantas dan
layak dikategorikan sebagai brāhmaṇa, kendatipun Dèwi Rěngganis memiliki kedudukan yang lebih istimewa
daripada Rěsi Masuji, yakni sebagai kṣatriya-saṃnyāsin. Adapun alasannya dapat dijumpai pada itivṛtta
ke-2, ke-3 dan ke-4 dari garis besar naratif teks Kĕṭoprak Lampahan Rěngganis yang telah
disajikan. Disebutkan pada itivṛtta
kedua bahwa Dèwi Rěngganis
melakukan dharma-nya sebagai seorang brāhmaṇā putri dengan menolak untuk diperistri Pangèran Iman Suwangsa yang
berkedudukan sebagai seorang kṣatriya. Selanjutnya, posisinya sebagai brāhmaṇā dipertegas pada itivṛtta ketiga lewat nasihat ayahnya, yakni Běgawan
Manikmaya, yang menuturkan bahwa Dèwi Rěngganis tidak ditakdirkan berjodoh
dengan Pangèran Iman Suwangsa, meskipun kedua insan itu sama-sama telah
terimpresi oleh karuṇarasa. Pada akhirnya, Dèwi Rengganis dapat
menerima kenyataan bahwa secara hakiki Pangèran Iman Suwangsa bukanlah pasangan
hidupnya. Akan tetapi, hal yang berlainan dialami Pangèran Iman Suwangsa, yang
terlanjur gandrung kapilawung dengan Dèwi Rěngganis, tidak mampu menerima
kenyataan bahwa Dèwi Rěngganis bukanlah jodohnya. Melihat keadaan Pangèran Iman
Suwangsa demikian, dengan karuṇarasa-nya, sang nāyikā akhirnya mengajak
Pangèran Iman Suwangsa untuk diperkenalkan dengan saudari angkatnya, yakni Dèwi Kadarwati, putri mahkota
Prabu Mukaji dari Něgara Mukadam, dengan
maksud ingin menjodohkan mereka berdua. Sementara itu,
karakter brāhmaṇa ditunjukkan Rěsi Majusi pada itivṛtta ke-4, yang menarasikan perbincangan antara Prabu Mukaji beserta para
anteknya dengan Patih Běstak dan Bětara Nurséwan di nagara Mukadam. Lalu kemunculan Rěsi Masuji secara tiba-tiba pada perbincangan
itu membuat orang-orang seisi istana Mukadam menjadi gaduh, karena pihak pratināyaka lewat kemampuan dīvyacakṣus-nya, meramalkan bahwa Něgara
Mukadam akan kedatangan maling yang akan menculik Běṭara Nurséwan, sehingga
Rěsi Masuji dan Prabu Mukaji beserta para anteknya mempersiapkan jebakan untuk
maling yang akan mendatangi Mukadam itu.
Berdasarkan hal di atas, dapat dipahami bahwa baik pihak nāyikā dan pihak pratināyaka dapat dikategorikan sebagai brāhmaṇa melalui keistimewaan yang
ditunjukkan pada itivṛtta teks kĕṭoprak lampahan tersebut. Adapun posisi istimewa yang dimiliki Dèwi
Rěngganis sebagai kṣatriya-saṃnyāsin, mempunyai keterikatan dengan kedudukannya
sebagai nāyikā. Dalam memenuhi sikap-sikap
heroiknya, Dèwi Rěngganis yang seorang brāhmaṇa sengaja mendudukkan diri
sebagai seorang kṣatriya demi menegakkan konsep dharma yang
dikontemplasikan sebagai “hukum” dalam naratif teks kěṭoprak lampahan
Rěngganis bergenre vīracarita. Hal ini ditunjukkan dalam itivṛtta
ke-8 dan ke-9. Dèwi Rěngganis diceritakan berhasil membebaskan dan
melarikan Adipati Umarmaya dari Sumur Upas ke Kuparman, yang dengan
kesaktiannya dapat membelah dan menyingkirkan batu besar yang menutupi sumur
beracun itu. Tindakannya telah memancing Rěsi Masuji dan Prabu Mukaji
seanteknya menyerang Kuparman, tetapi Dèwi Rěngganis yang dalam hal ini selaku nāyikā
dapat membunuh Rěsi Masuji selaku pratināyaka melalui yuddha.
Dalam hal ini, Dèwi Rěngganis sebagai seorang brāhmaṇā telah mengamalkan
ajaran Rājadharma untuk kṣatriya, yang menyatakan bahwa dharma
tertinggi kṣatriya adalah melukai kṣatriya yang lain,
sehingga bukan perbuatan terpuji, ketika ia menghancurkan penjahat yang hina
dan rendah (Widyaseputra 2009: 25; Sutton 2000: 299). Dipertegas pula
dalam naratif, bahwa Dèwi Rěngganis telah melaksanakan svadharma seorang
kṣatriya, yakni yuddha, adalah perbuatan yang berkaitan dengan
kekerasan.
C. 3. Sambandha
Berdasarkan kamus Jawa Kuna-Indonesia
Zoetmulder, secara harafiah kata sambandha mempunyai arti sebagai
berikut :
Skt hubungan, pertalian, hubungan kepada: hubungan pribadi,
kekerabatan, persahabatan; kerabat, sanak saudara, teman.
Jk hubungan, pertalian, sebab, alasan, peristiwa.
(Zoetmulder
2006: 1000).
Dalam konteks penghayatan estetika teks
kĕṭoprak lampahan Rĕngganis, Běṭara
Nurséwan dapat didudukkan sebagai sambandha, karena di samping menjadi
penyebab munculnya pelbagai peristiwa di dalam naratif, Běṭara Nurséwan juga
menjadi “penghubung” bertemunya pihak nāyikā dan pihak pratināyaka dalam
yuddha. Perlu dipahami identitas Běṭara Nurséwan dalam kĕṭoprak lampahan Rĕngganis yang menjadi sangat krusial dalam
memunculkan peristiwa-peristiwa yang membentuk tatanan itivṛtta dengan rapi. Pada itivṛtta
pertama, ditunjukkan kekhawatiran
Prabu Jayèngrana terhadap Běṭara Nurséwan yang pergi meninggalkan Kuparman
tanpa seizin dan sepengetahuannya. Kekhawatirannya terhadap Běṭara Nurséwan
dilatarbelakangi hubungan antara keduanya yang sangat dekat, yang kedekatannya
itu ditunjukkan dalam kutipan dialog (mp3 1, 10’29”-11’05”) berikut.
Prabu Jayèngrana
|
:
|
“Kakang Umarmadi lan Kakang Umarmaya, dudu kuwi kang tak kěrsakaké, aku
munḍut atur wawasanmu, apa sěbabé Rama Prabu Běṭara Nurséwan ora kěrsa
lěnggah ana ing Mědayin utawa nḍèrèk aku ana ing Kuparman kéné?. Aku iki rak
putra mantuné ta, tinimbang ngulan-dara, ngěmpèk-ěmpèk ana ing liya praja,
ana ing liya něgara, lak malah ora prayoga, lak luwih prayoga upama kěrsa
lěnggah sěkéca néng Něgara Kuparman kéné ta!”
|
|
|
|
Raja Umarmadi
|
:
|
“Unjuk atur Tiyang Agung!”
|
Berdasarkan cuplikan singkat dialog
antara Prabu Jayèngrana dan Raja Umarmadi, dapat dimengerti bahwa kedudukan
Prabu Jayèngrana ialah sebagai menantu Běṭara Nurséwan. Dalam hal ini,
kepergian Běṭara Nurséwan dari Médayin menimbulkan kekhawatiran putra menantu.
Kepergiannya yang ternyata ke Mukadam atas hasutan Patih Běstak, memunculkan
afair-afair dalam itivṛtta naratif teks kěṭoprak lampahan Rěngganis,
yang antara lain: (1) Berangkatnya Adipati Umarmaya dan Raja Umarmadi ke
Mukadam dalam rangka memastikan laporan Pangèran Iman Suwangsa mengenai
keberadaan Běṭara Nurséwan dan Patih Běstak di Mukadam; (2) Keputusan yang
ditetapkan Prabu Mukaji untuk segera menyerang Kuparman dan menjodohkan Pangèran Hérman dengan Dèwi
Kadarwati, putrinya, dengan dilandasi keinginan untuk melindungi dan menjalin
hubungan yang lebih baik dengan Běṭara Nurséwan; (3) Tertangkapnya Adipati
Umarmaya oleh Rěsi Majusi dan Prabu Mukaji, yang kemudian diceburkanlah ia ke
dalam Sumur Upas; (4) Yuddha antara Déwi Rěngganis dan Rěsi Majusi serta
yuddha antara Prabu Jayèngrana dan Prabu Mukaji. Oleh karena itu itivṛtta
naratif teks kěṭoprak lampahan Rěngganis banyak menghadirkan satuan
naratif mantra, yang kemunculan setiap peristiwa didasarkan atas perundingan
untuk mengatur perilaku para tokoh yang kemudian menciptakan kejadian-kejadian
beruntun yang akan mempertemukan tiap-tiap tokoh di dalamnya.
Berdasarkan
hal itu, peran sambandha dalam naratif teks kěṭoprak lampahan
Rěngganis menjadi
lebih esensial, yakni dalam mempertemukan nāyikā dan pratināyaka.
Dalam hal ini, bertemunya Dèwi Rěngganis dengan Rěsi Majusi bukanlah suatu hal
yang kebetulan, melainkan merupakan nāyakâbhyudaya yang patut dihadirkan
dalam setiap naratif bergenre vīracarita. Dengan kata lain, sambandha
berperan membentuk satuan naratif nāyakâbhyudaya melalui yuddha antara
nāyikā dan pratināyaka. Dalam konteks naratif teks Kěṭoprak Lampahan
Rěngganis, pertemuan Dèwi Rěngganis dengan Rěsi Majusi melalui yuddha,
dilatarbelakangi peristiwa mengungsinya Běṭara Nurséwan di Mukadam, yang pada
akhirnya berakibat pada tertangkapnya Adipati Umarmaya oleh Rěsi Majusi, yang
kemudian pembebasannya oleh Dèwi Rěngganis menyebabkan Rěsi Majusi mengejarnya,
lalu tewas akibat yuddha dengannya.
C. 4. Itivṛtta
Berdasarkan garis besar struktur
naratif teks kĕṭoprak lampahan Rěngganis yang telah
disajikan pada C.1., dapat dilihat bahwa itivṛtta
lampahan itu dengan rapi dan tertata memuat banyak satuan naratif mantra, yang disajikan hampir di setiap itivṛtta-nya. Itivṛtta itu menyiratkan makna, yang dilengkapi dengan
materi-materi yang diperlukan oleh lampahan
kĕṭoprak. Dipandang dari segi rasa,
perkembangan vīrarasa dalam teks keṭoprak lampahan Rěngganis menunjukkan bahwa Handung Kusudyarsono, dengan sangat
berhasil, menempatkan materimateri yang digunakan untuk membantu rasa yang utama, yakni vīrarasa (Widyaseputra 2009: 19; cf.
Peterson 1991:219; Amaladass 1984; Masson 1972; Tubb 1978).
Kĕṭoprak lampahan
Rĕngganis membangkitkan vīrarasa
sebagai tema sentralnya, dan tema itu dibangkitkan melalui kehadiran Dèwi
Rĕngganis sebagai nāyikā. Hal itu
berarti Dèwi Rĕngganis hadir hampir di sepanjang itivṛtta teks kĕṭoprak lampahan
Rĕngganis, mulai sejak awal itivṛtta, yaitu sejak tibanya Dèwi
Rĕngganis di Taman Banjaransari milik Pangèran Iman Suwangsa sampai yuddha-nya
dengan Rěsi Majusi. Rasa yang dibangkitkan pada naratif bagian déśa
Taman Banjaransari, adalah Karuṇarasa ‘kasih sayang’, yang melandasi
Dèwi Rěngganis menghadirkan vīrarasa ‘kepahlawanan’ di setiap itivṛtta
naratif teks kĕṭoprak lampahan Rĕngganis. Pada episode yang sama dijelaskan pula
bahwa Dèwi Rěngganis memilih dharma sebagai tujuan hidup yang
paling sesuai baginya di dalam lingkungan dan tataran hidupnya, dan ditandai
ketika ia menolak pinangan Pangèran Iman Suwangsa karena tahu bahwa sang
pangeran bukan jodohnya, meski ia pun mengasihinya, hingga akhirnya ia rela
memberikan pria yang ia kasihi itu kepada saudari angkatnya, yakni Dèwi
Kadarwati. Pencobaan-pencobaan yang ia hadapi merupakan landasan bagi dharma-nya
sebagai kṣatriya-saṃnyāsin, dan landasan itu merupakan sarana yang
mengantarkan Prabu Jayèngrana mencapai keberhasilan dalam mengalahkan Prabu
Mukaji. Ketahanan Dèwi Rěngganis dengan dharma sebagai seorang nāyikā
dalam konteks skema caturpuruṣārtha, semakin mempertegas landasan
moral vīrarasa. Di dalam semangat Dèwi Rěngganis yang ulet, tekun, dan
aktivitasnya menghadapi segala macam tantangan dan godaan, sekiranya dicermati utsāha-nya (energi, usaha yang keras untuk
mencapai tujuan): sthāyibhāva yang secara kanonik dijadikan dasar vīrarasa
(Widyaseputra 2009: 20; cf. Peterson 1991:
220; Tubb 1991: 171-203; Masson and Patwardhan 1969; Gerow and Aklujkar 1972:
80-87; Raghavan 1967; Pandey 1944: 326-330; Smith 1985).
D. Simpulan
Lampahan Rěngganis, yang terdapat dalam tradisi kěṭoprak Yogyakarta,
ternyata mengandung banyak pesan, yang berupa nilai-nilai. Penelusuran naratif
teks Kěṭoprak Lampahan Rěngganis itu dengan menggunakan teori estetika kāvya Sansekerta, yakni teori Alaṃkāra yang dikemukakan oleh Bhāmaha,
dapat diungkapkan sejumlah hal: (1).
Dapat diketahui kehadiran nāyikā
dan pratināyaka, yaitu Dèwi Rěngganis
dan Rěsi Majusi. (2). Dapat dipahami sambandha, yakni pengembaraan Běṭara
Nurséwan ke Mukadam, yang lalu membentuk tiap-tiap satuan naratif dan mempertemukan nāyikā dan pratināyaka dalam teks kěṭoprak lampahan Rěngganis. (3) Kehadiran setiap karakter dapat membentuk itivṛtta, yang menyiratkan nilai
estetika dan nilai etika. (4). Dalam hal nilai estetika, naratif teks kěṭoprak lampahan Rěngganis tetap mempertahankan nilai estetika yang terdapat dalam Rāmāyaṇa Sansekerta, yakni karuṇarasa yang dimanifestasikan melalui vīrarasa. (5). Nilai estetika ini dapat
dijadikan pangkal pijak mengangkat nilai etika, yang harus dimulai dari tataran
epik.
Dengan demikian dapat ditegaskan bagi para seniman bahwa
untuk mengungkapkan nilai-nilai yang tersirat dalam lampahan-lampahan kěṭoprak, sangat ditekankan untuk menguasai itivṛtta lampahan-lampahan kěṭoprak dengan sempurna. Ia tidak perlu secara khusus dan eksplisit
menampilkan ajaran-ajaran atau dogma-dogma tertentu kepada pemirsanya, karena
dalam tradisi kěṭoprak Yogyakarta, lampahan
kěṭoprak pada dasarnya merupakan penaratifan suatu ajaran atau dogma
tertentu dengan nuansa yang ritualistik. Lampahan
Rěngganis, dengan cemerlang
berhasil menyajikan itivṛtta yang sangat menarik dan menyiratkan konsep dharma, ‘etika’ melalui rasa dan naratif itu ditunjukkan dengan yuddha, yang sebenarnya adalah peristiwa
ritual yajña. Pengertian ini sangat
penting diketahui dalam rangka penelusuran masalah etika dalam tradisi kěṭoprak
Yogyakarta, karena sebagaimana diketahui bahwa ritual sebenarnya merupakan blue-print dari etika (Widyaseputra
2009: 27). Oleh sebab itulah penting kiranya dilakukan penelusuran-penelusuran
yang lebih mendalam terhadap lampahan-lampahan
kěṭoprak dari berbagai macam tradisi, sehingga melalui karya itu dapat
dimengerti berbagai macam karakteristik etika yang dimiliki oleh semua etnis di
Kepulauan Nusantara ini.
Daftar
Pustaka
Anand, Amaladass, SJ., 1984 Philosophical Implications of
Dhvani. Experience of Symbol Languages in Indian Aesthetics.
Vienna: Gerald & Co.
Behrend,
T. E., 1990, Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara I: Museum
Sonobudoyo Yogyakarta. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Braginsky,
V. I., 1998, Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam
Abad 7-19. Jakarta: INIS.
Gerow, Edwin, 1971, A Glossary of Indian Figures Speech. The
Hague-Paris: Mouton.
Hoadley, M.C. and M.B. Hooker, 1981, An Introduction to Javanese Law. A
Translation of and Comentary on the Agama. Tucson, Arizona: The University
of Arizona Press.
Jonker, Johann Christoph Gerhard, 1885,
Een Oud-Javaansch Wetboek Vergeleken met
Indische Rechtsbronnen. Proefschrift Rijksuniversiteit Leiden. Leiden: E.J.
Brill.
Kuiper, F.B.J., 1979, “Vāruṇa and Vidūṣaka.
On the Origin of the Sanskrit Drama”, VKNAWL,
Nieuwe Reeks, Deel 100, Amsterdam, Oxford, New York: North- Holland
Publishing Company.
MacDonall, Arthur Anthony, 1979, A Practical Sanskrit-English Dictionary. London: Oxford University
Press.
Masson, J.L., and M.V. Patwardhan, 1969, Śāntarasa
and Abhinavagupta’s Philosophy of Aesthetics. Poona: Bhandarkar Oriental
Research Institute.
Hooykaas, C., 1958, “The Old Javanese Rāmāyaṇa. An Exemplary Kakawin
as to Form and Content”, VKNAWL, Nieuwe
Reeks, Deel LXV, No. 1, Amsterdam: N.V. Noord-Hollandsche Uitgevers
Maatschappij.
Pande, Anupa, 1993, The Nāṭyaśāstra Tradition and Ancient Indian
Society. Jodhpur: Kusumanjali.
Peterson, Indira V., 1991, “Arjuna’s
Combat with the Kirāta: Rasa and Bhakti in Bhāravi’s Kirātārjunīya”, in: Arvind Sharma, (ed), Essays on the Mahābhārata. Leiden-New York-København-Koln: E.J.
Brill.
Pandey, K.B., 1944, “Dhanañjaya and
Abhinavagupta on Śāntarasa”, Proceeding of the All India Oriental
Conference 12, p. 326-350.
Poerbatjaraka, R.Ng., 1952, Kapustakan
Djawi. Djakarta:
Penerbit Djambatan.
Raghavan,
V., 1967, Number of Rasas. Second
Edition. Madras: Adyar Library.
Sastrulu,
Vavilla Venkatesvara, 1952, Kāvyadarśa˙. Madras.
Sastry, Naganatha, P.V., 1970, Kāvyālaṃkāra of Bhāmaha. Delhi,
Varanasi, Patna: Motilal Banarsidass.
Shetterley, Indira V., 1976,
“Recurrence and Structure on Sanskrit Literary Epics: A Study of Bhāravi’s Kirātārjunīya”, Harvard University PhD.
Thesis, Department of Sanskrit and Indian Studies.
Smith, David, 1985, Ratnākara’s Haravijaya: An Introduction to
the Sanskrit Court Epic. Delhi: Oxford University Press.
Supomo,
S., 1977, “Arjunawijaya. A Kakawin of Mpu Tantular”, BI 14. 2 vols. The
Hague: Martinus Nijhoff.
Sutton, Nicholas, 2000, Religious Doctrines in the Mahābhārata.
Delhi: Motilal Banarsidass Publisher Private Limited.
Tubb, Gary Alan, 1979, “The Kumārasambhava in the Light of Indian Theories of the Mahākāvya”, Harvard University PhD. Thesis, Department of Sanskrit
and Indian Studies.
Warder, A.K., 1990a,
Indian Kāvya Literature. Volume Two: The Origins and Formation of Classical Kāvya.
Delhi: Motilal Banarsidass Publishers PVT, LTD.
Widyaseputra, Manu J., 2001a, “Relevansi Analisis Tekstual dan Kontekstual untuk
Memahami Pentas Wayang Kulit dalam Masyarakat Jawa Masa Kini: Sebuah Kasus
tentang Lakon Pandhu Swarga”, Humaniora. Jurnal Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Gadjah Mada, Volume XIII, no. 2, p. 194-203.
___________, 2009, Srikandhi: Strī
Pūrvaṃ Paścāt Puṃstvam dalam Tradisi Wayang Yogyakarta. Yogyakarta:
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
Wiryamartana, I. Kuntara, 1990, Arjunawiwāha. Transformasi Teks Jawa Kuna
Lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa. Yogyakarta: Duta
Wacana Press.
Zoetmulder,
P. J., 1985, Kalangwan. Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Penerjemah
Dick Hartoko SJ. Jakarta: Penerbitan Jambatan. Cetakan II
___________.,
2006, Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Penerjemah Darusuprapta, Sumarti
Suprayitna. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Cetakan VI
Zakariya Pamuji Aminullah