Rabu, 08 Agustus 2012

Tahta Tanpa Mahkota

Dewa! Bencikah kau padaku? Akulah Duryudhana Raja Astina! Tapi aku Raja tanpa Mahkota. Raja tanpa kehormatan. Ironi memang. Lihatlah dewa! Para Pandhawa, sepupuku sendiri, mereka tak bertahta namun bermahkota. Oh Dewa, Pandhawa anak-anakmu, Yudhistira, anak Dewa Dharma. Arjuna anak Dewa Indra. Bima putra Dewa Bayu. Dewa Aswan-Aswin berketurunan Nakula dan Sadewa. Semuanya adalah anak-anakmu dewa!
Sedangkan aku? Apa aku keturunan Dewa? Tidak! Aku hanya keturunan ayah yang buta dan ibu yang terpaksa mengawini ayahku. Memang sudah semestinya para Dewa itu membela anak-anaknya. Tidak ada salahnya. Lantas apa salahku berjalan pada pendirianku? Aku melakukan apa yang seharusnya ku lakukan. Apa salahnya berbuat dharma sesuai porsiku?
Aku anak pertama dari Destarata, anak pertama kakekku Abiyasa. Ayahku lah sang Penerus kerajaan Astina dan tahta itu akan berkelanjutan padaku, Duryudhana, putra mahkota Astinapura. Tapi apa yang tersurat, ayahku terlahir buta, dan tahtanya diberikan pada adiknya Pandu, ayah dari para Pandhawa. Ohh Dewa, mengapa kau begitu membenciku? Apa aku tak boleh secuilpun mendapat kehormatan yang seharusnya sudah melekat dalam tulangku dan mengalir dalam darahku.
Memang saat ini tahta itu ada padaku, tapi semesta ini bukan milikku, ia tak mendukungku. Semesta menginginkan Pandhawa bertahta, oh Dewata, dosa apa yang kulakukan sehingga semua terjadi sehingga apapun yang kulakukan merupakan kesalahan terbesar dan contoh buruk bagi umat manusia. Senista itukah hidupku, orang-orang yang ku percaya pun lebih menggadaikan harapannya pada Pandhawa. Kakek Bhisma pun saat ajal menjemputnya, lebih memilih disentuh oleh panah Arjuna daripada oleh tanganku, sebegitu nistakah aku sehingga Panah arjuna lebih mulia daripada tanganku. Durna yang hidup dalam lindunganku pun lebih menyayangi Bima daripada aku. Ayahku yang sangat menyayangi akupun berkedok mempercayai aku, namun hatinya masih berbekas Pandhawa, oh Sang Hyang Wenang.. apa salahku?
Hidupku dipenuhi iri. Hidupku dipenuhi dengki, ya! Apa itu salah? Salahkah aku mempertahankan tanah Astina agar bisa ku bagi dengan 99 adik ku, cukupkah Astina untuk dibagi rata dengan 100 kurawa. Entah angin apa yang memengaruhi saudara ku Pandhawa yang meminta Astina untuk dibagi 5 orang, sedangkan aku sedang mempertahankannya untuk kubagi rata dengan ke -99 saudaraku. Adil kah aku jika merelakan Astina untuk Pandhawa, sementara ke-99 adikku hidup tanpa lindungan dan tanpa sepetak tanahpun yang seharusnya menjadi hak mereka? Usahaku mempertahankan Astina tak semata oleh keegoisanku akan tahta, dan bukan semata kelaparanku akan mahkota, tapi semata-mata hanya untuk kemuliaan saudara sedarahku.
Angin itu begitu riuh menghancurkan kehormatanku, menerbang impianku, dan melebur segala asaku. Dadaku sesak, rambutku rontok, darahku merah, darahku panas. Hatiku? Ah apa mereka kira aku punya hati? Apa mereka tahu bahwa hatiku ini seperti hati mereka juga yang menginginkan tahta ini? Yang mereka tahu hanyalah batu mengisi tiap sisi hatiku ini.
Dan perang pun tak terelakkan. Apakah aku mau berhadapan dengan sepupuku sendiri para Pandhawa? Tidak! Sungguh tidak. Aku berperang atas nama kehormatan ku sebagai raja dan ksatria Astina. Aku berperang dari kemunafikan Pandhawa. Aku berperang dari ketidakadilan Dewa padaku, aku berperang dari hatiku. Salahkah aku mengikuti kata hatiku?
Dingin, memang dingin tanah kuru, angin berhembus membawa bau anyir darah dan amis dari potongan telinga yang tergeletak diujung anak panah yang begitu perkasa menancap pada sebuah batang pohon. Oh Dewa, mengapa kau tuliskan kata perang dalam suratan takdirku. Apa kata damai tidak bisa menggantikan segalanya?
Perang memang perkasa, perang menghanguskan segalanya, ia menghanguskan cinta, melibas harapan, membakar nurani. Padang Kuru menyaksikan keperkasaannya, ksatria agung gugur di hamparannya, apa semua ini salahku? Apakah Pandhawa begitu suci sehingga tak memiliki noda akan perang ini?
Ya, akulah noda itu, akulah api yang membakar nurani ku sendiri, akulah kegelapan dari semua cahaya, dan semua itu memang persis yang dituliskan Dewa akan takdirku. Busuk! Mungkin itulah kata pertama ketika tiap orang tua menceritakan dongeng Bharatayudha pada anaknya jika ia sedang menceritakan kisahku pada anak-anak mereka. Antagonis! Mungkin itu kata pertama yang muncul saat para sastrawan membaca akan kisahku.  Ya! Akulah antagonis itu yang membuat para Pandhawa menjadi protagonis. Kejahatan ada agar kebaikan selalu bertaring dalam kehidupan ini, dan aku salah satu yang berhadapan dengan keganasan taringmu!
Dan kini aku telah mati, Bima, saudaraku lah yang menyempurnakan kehidupanku dengan kematian ini. Aku mati, tapi namaku belum mati, namaku masih terstempel cap contoh buruk sifat manusia. Biarlah, Pandhawa memang agung, Kejahatanku melambungkan kebaikan Pandhawa, ya, mungkin itulah kebaikanku, memuliakan saudaraku. Oh Dewa! Habis sudah aku, Neraka sudah menjemputku, aku relakan Surga ku untuk saudaraku para Pandhawa. Api neraka lebih cocok membakar hatiku yang sudah terlanjur jadi abu saat aku masih di bumi. Biarlah semua orang tak menginginkanku dan bersorak-sorai atas kematianku. Tapi aku yakin, seseorang akan membaca kisahku, dan akan menuliskan kisahku, ya! Kisahku! Kisah rinduku akan keadilan, kisah rinduku akan kehormatan, aku yakin itu! Suatu saat nanti, karena suatu saat nanti akan ada yang menerangi sisi gelap ini
***
Aku tersenyum, ku tutup tulisanku, tak ku bubuhkan tulisan the end dalam tulisan ini, dalam kalimat terakhirpun tak kububuhkan tanda titik , aku tekan tombol ctrl+s dan ku beri judul file ini dengan “tahta tanpa mahkota”,  kemudian aku shutdown laptopku. Ku ambil sebatang rokok, kunyalakan rokok itu, aku menghisapnya dalam-dalam lalu ku hembuskan bersama dengan angin yang menelusup dari ventilasi kamarku, nikmat, dan akupun masih tersenyum. 

Raditya Mahendra

Kamis, 02 Agustus 2012

Kajian Intertekstual dan Alih Wahana Film Opera Jawa karya Garin Nugroho dengan Naskah Rama Karya Kartapradja


  
  1.    Pendahuluan

Sastra merupakan salah satu cabang seni, dan seni merupakan salah satu unsur dari kebudayaan. Budaya adalah hasil cipta rasa dan karsa manusia sebagai pelaku budaya. Budaya adalah hal yang dinamis, bergerak sesuai tempatnya berpijak. Sama halnya dengan sastra, sastra berkembang sesuai dengan masyarakat yang berkembang. Masyarakat sudah banyak menghasilkan karya sastra, masyarakat juga telah banyak membaca dan menikmati berbagai karya sastra dari berbagai bentuk. Atas dasar hal tersebut, kajian Intertekstual adalah salah satu teori yang bisa menjembatani  perkembangan sastra modern saat ini dengan naskah-naskah lama yang ada.
Kajian Intertekstual awalnya dikembangkan oleh peneliti Perancis , Julia Kristeva, walaupun pada dasarnya prinsip ini telah diketahui pula oleh para formalis. Prinsip ini berarti bahwa setiap teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain ( Teeuw 1984 : 145). Hal tersebut benar adanya karena tidak ada teks yang mandiri berdiri sendiri, suatu teks pasti mendapat ilham atau ide-ide dari teks lain yang sudah ada sebelum teks tersebut, sehingga pengembangan dari teks tersebut yang menyebabkan adanya kajian Intertekstual. Teeuw (1984 : 146) mengatakan bahwa konsep intertekstualitas memainkan peranan yang sangat penting dalam semiotik sastra, tidak hanya dalam usaha untuk sekadar member interpretasi tertentu terhadap karya sastra yang konkrit saja.
Dalam hal ini, kajian intertekstual di Indonesia sangatlah penting karena karya-karya sastra di Indonesia banyak sekali yang menggunakan kajian tersebut. Cerita-cerita pewayangan pada khususnya Ramayana dan Mahabharata telah menjadi teks Hipergram dari kebanyakan naskah Nusantara. Tidak hanya ke dalam sastra tulis saja seperti puisi dan prosa, naskah Ramayana dan Mahabharata pun sudah menjadi hipogram dari beberapa pertunjukan teater dan film. Hal tersebut merupakan salah satu ciri perkembangan sastra modern. Perkembangan sastra modern menunjukan adanya proses saling mencuri atau saling meminjam dari beberapa karya sastra lain,dalam hal ini mungkin yang dipinjam adalah ide, amanat, nilai-nilai, atau alur cerita ( Sapardi Djoko Damono 2005 : 22).
                   Perkembangan sastra modern melalui intertekstual juga berdampingan dengan teori alih wahana. Menurut Sapardi Djoko Damono (2005 : 96)  Alih wahana adalah perubahan dari satu jenis kesenian ke kesenian lain. Karya sastra tidak hanya bisa diterjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain, tapi juga bisa dari satu kesenian ke kesenian lain. 

  2.  Selayang Pandang tentang Film Opera Jawa
                Interpretasi dari sudut pandang masyarakatlah yang menciptakan unsur-unsur intertekstual dan alih wahana tersebut. Seperti pada film “Opera Jawa” karya Garin Nugroho, yang telah menyabet penghargaan dari beberapa festival film dunia seperti Festival film Venesia, Festival Film Internasional London, Festival film Toronto, Festival Film Brussel, dan festival Film Indonesia. Film Ini bercerita tentang 2 pasangan suami istri bernama Setyo dan Siti yang merupakan mantan penari wayang orang Ramayana di desanya, Setyo adalah mantan pemeran Rama, sedangkan Siti merupakan pemeran Shinta dalam wayang orang tersebut. Pasangan suami istri tersebut kemudian menjadi pengusaha gerabah yang sukses didesanya. Namun, rekan penari mereka yang dahulu memerankan Rahwana, Ludiro, diam-diam mencintai Siti sejak lama, dan ia pun berhendak untuk mencuri Siti dari Setyo. Konflik dalam film ini pun bukan hanya itu, Setyo yang merupakan juragan Gerabah mendapat saingan dari kawannya semasa menjadi penari wayang orang yakni Ludiro itu sendiri yang menjadi juragan daging. Dalam cerita ini penggambaran cerita di setting desa tersebut sangat menggambarkan adanya proses intertekstual cerita Ramayana kedalam film Opera Jawa. Walaupun tokoh nya berbeda , namun penokohan dalam Opera Jawa sangat mirip dengan cerita Ramayana. Tokoh Setyo menggambarkan Rama, tokoh Siti menggambarkan tokoh Shinta, sedangkan Ludiro menggambarkan tokoh Rahwana. Jika dibahas lebih lanjut lagi, maka akan didapatkan tokoh Lesmana, Anoman, Sukesi, dll. 

  3.Pembahasan
                Kajian intertekstual dan Alih wahana dalam film Opera Jawa ini mengambil naskah Rama karya R.ng. Kartapradja sebagai teks hipogram dan  Film opera Jawa ini sebagai teks Hipergram dan sebagai alih wahananya. Ada kemiripan dari keduanya, yakni sama-sama berbahasa jawa. Naskah Rama karangan Kartapradja menggunakan bahasa Jawa ejaan lama, sedangkan film opera Jawa menggunakan dialog dengan tembang-tembang jawa.Dalam film Opera Jawa, digambarkan Setyo meninggalkan Siti dan menyuruh Lesmana untuk menjaganya, kepergian Setyo adalah untuk menjual gerabahnya ke luar kota. Hal itu berbeda dengan naskah Rama dari Kartapradja yang menceritakan bahwa kepergian Rama adalah untuk mencari Kijang Kencana yang merupakan peralihan wujud dari Marica, anak buah Rahwana. Dalam film Opera Jawa juga diceritakan Anoman membakar daerah kekuasaan Ludiro, namun proses pembakarannya tidak seperti dalam naskah Rama karangan Kartapradja, Anoman di Opera Jawa membakar kekuasaan Ludiro atas perintah dari Setyo yang merupakan tuannya, jika dalam naskah Rama diceritakan bahwa Anoman ditangkap oleh Rahwana dan akan diberi hukuman api, yakni dibakar hidup-hidup, Anoman yang sakti tidak mati oleh api namun malah membakar seluruh alengka dengan api yang seharusnya membunuhnya. Namun ada satu persamaan dari kedua cerita ini, dalam opera Jawa digambarkan bahwa Ludiro mati dalam pertempuran melawan Setyo, dalam Rama karya Kartapradja, Rahwana pun mati ditangan Rama. Hal tersebut berbeda dalam naskah Ramayana lain yang menceritakan bahwa Rahwana tidak bisa mati. Akhir hidup Rahwana adalah di panah dengan panah sakti Rama dan ditindih gunung oleh Anoman. 

  4.  Kesimpulan
Analisis Intertekstual dan Alih Wahana dalam film Opera Jawa tersebut sudah jelas adanya. Film Opera Jawa merupakan hipergram dan naskah Ramayana, yang dalam hal ini diambil dari naskah Rama karya R.ng. Kartapradja merupakan Hipogramnya. Perbedaan dan persamaan  yang sudah dijeaskan diatas sudah menjelaskan bahwa Film Opera jawa terinspirasi atau bersumber dari naskah agung Ramayana. Garin Nugroho sebagai Sutradara film opera jawa ini sendiri mengatakan bahwa cerita opera jawa terinspirasi dari naskah agung Ramayana namun di terapkan dalam kehidupan masyarakat sekarang dengan perlambang-perlambang yang memuat unsur semiotik. Adanya Dekonstruksi cerita dari film ini juga memperkuat kesan kontemporer dalam film ini walaupun plot dan tema ceritanya masih sama . hal tersebutlah yang membuat film ini menarik.
Perkembangan Intertekstual bisa membuat perkembangan yang baik bagi kasusastraan Indonesia bahkan Jawa. Sebab bisa menggabungkan nilai-nilai adiluhung jaman dahulu dan kemodernitas jaman sekarang. Hal tersebut bisa menumbuhkan rasa cinta kita terhadap budaya kita. Hal tersebut sudah ditunjukan oleh film Opera Jawa ini.







Pustaka :
Teeuw,A, Prof.Dr. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta. Pustaka Jaya
Djoko Damono , Sapardi. 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta. Depdiknas Pusat Bahasa
Kartapradja. R.ng.1937. Rama. Batavia. Bale Pustaka
Sunardi DM. 1994. Ramayana. Jakarta. Balai Pustaka
Film Opera Jawa (2005) karya Garin Nugroho


Raditya Mahendra

Sabtu, 28 Juli 2012

NĀYIKĀ DARI ARGAPURA: Alaṃkāraśāstra dalam Teks Kěṭoprak Lampahan Rěngganis


A. Pengantar

Sosok nāyaka Muhammad Hanafiah dimunculkan dari sastra Islam Asia Tengah, khususnya Arab, yang ditransformasikan dalam bentuk hikayat Islam Melayu tertua di Pasai dalam tahun 80-an pada abad ke-14, yaitu Hikayat Muhammad Hanafiah. Hal demikian juga dijumpai pada dua tokoh nāyaka Islam lain, yakni Iskandar Zulkarnain dan Amir Hamzah, yang naratifnya ditransformasikan ke dalam bentuk hikayat Islam Melayu menjadi Hikayat Iskandar Zulkarnain dan Hikayat Amir Hamzah pada kurun waktu 20-30 tahun setelah Hikayat Muhammad Hanafiah digubah. Ketiga hikayat tersebut oleh Brakel dipahami sebagai “inti sastra hikayat Melayu” (Braginsky 1998: 128; Brakel 1979: 16).
Di antara ketiga hikayat Islam Melayu yang disebutkan di atas, akan dijadikan pusat perhatian pada karya sastra hasil dari transformasi Hikayat Amir Hamzah. Hikayat ini memuat naratif mengenai peran penting Amir Hamzah sebagai nāyaka Kuraisy yang berhasil membantu Nabi Muhammad dalam setiap mengislamkan para pratināyaka-nya di déśa-déśa di luar Mekah-Madinah. Ia menjadi tersohor karena yuddha-yuddha-nya selalu berakhir dengan nāyakâbhyudaya, meskipun pada akhirnya ia gugur pada saat melaksanakan āji dengan raja Lahad (versi Melayu). Dalam hikayat ini dipahami Amir Hamzah sebagai palupi yang tepat, karena dengan rasa bhakti-nya yang luar biasa kepada Nabi Muhammad, ia dapat mengislamkan musuh-musuhnya yang telah ia taklukan dengan vīrarasa yang ia dasari utsaha (Braginsky 1998: 131-133).
Dalam perkembangan lebih lanjut, Hikayat Amir Hamzah ditransformasi dari tradisi sastra Islam Melayu ke dalam tradisi sastra Islam Jawa, di antaranya ialah Sěrat Ménak dan Sěrat Rěngganis yang berbahasa Jawa. Dari kedua sěrat itu, Sěrat Rěngganis menjadi pusat perhatian pada tulisan ini. Sěrat Rěngganis menceritakan mengenai Dèwi Rěngganis dari Pěrtapaan Argapura sebagai nāyikā dan Pangèran Kélan dari Kerajaan Kuparman sebagai upanāyaka dalam naratifnya (lih. Poerbatja-raka 1952: 111-119). Dewasa ini, terdapat sembilan manuskrip Sěrat Rěngganis yang terdaftar dalam katalog naskah Museum Sonobudoyo Yogyakarta, yakni: (1) Sěrat Rěngganis L217a, satu naskah dengan Sěrat Ménak Saréhas sampai Ménak Laré; (2) Sěrat Rěngganis L294, satu naskah dengan Sěrat Baṭara Rama oleh dua penulis yang berbeda; (3) Sěrat Rěngganis L308, tidak merupakan bagian episode Ménak Saréhas dengan Ménak Talsamat; (4) Sěrat Rěngganis L309, alih aksara dari MSB/L308; (5) Sěrat Rěngganis L310, penulisan kembali dari MSB/L308; (6) Sěrat Rěngganis L311, penulisan belum selesai dan teks hampir sama dengan MSB/L308; (7) Sěrat Rěng-ganis L313, cerita sampai pada Dèwi Kadarwati diminta Rěngganis supaya menjadi istri Rěpatmaja; (8) Sěrat Rěngganis L314, penulisan belum selesai dan teks hampir sama dengan lontar E.25 di Museum Nasional; dan (9) Sěrat Rěngganis L315, naskah belum dibuat deskripsi lengkap, tidak dimikrofilm oleh Proyek Mikrofilm Museum Sonobudoyo, karena rontal telah rusak berat (Behrend 1990: 347, 389, 397-400).
Berdasarkan hal di atas, agaknya naratif Sěrat Rěngganis L313-lah yang di-transfigurasi ke dalam bentuk naskah ketoprak berjudul “Rěngganis” gubahan Handung Kusudyarsono. Selanjutnya, naskah kěṭoprak itu dipentaskan oleh Kěṭoprak Mataram “Sapta Manḍala Kodam VII Dipaněgara” dan direkam serta diproduksi dalam bentuk kaset rekaman oleh Bintang Fajar Record. Kaset bernarasikan teks kěṭoprak lampahan Rěngganis tersebut akan menjadi pusat perhatian pada penelitian ini. Kemudian mengenai teori yang akan digunakan dalam penelitian ini, akan diuraikan pada bagian selanjutnya.

B. Kāvyâlaṃkāra

Teks kěṭoprak lampahan Rěngganis ini akan dibahas dengan berdasarkan teori estetika Sansekerta yang disusun oleh Bhāmaha dalam kāvyâlaṃkāra. Itivṛtta ‘alur’ merupakan rangkaian-rangkaian peristiwa dalam kaitannya dengan hubungan sebab-akibat yang ditata dan direlasikan secara artistik dan serasi. Rangkaian naratif ini memunculkan lima avasthā ‘tataran’, yakni: (1) prālambha ‘permulaan’; (2) prayatna ‘upaya’; (3) prāptisambhāva ‘harapan dan keputusasaan’; (4) nyayataphalaprāpti ‘ketidakpastian dan kepastian’; dan (5) phalaprāpti ‘keberhasilan akhir’ (cf NŚ XIX, 7 dalam Widyaseputra 2009: 6). Berkaitan dengan lima avasthā, dijumpai lima saṃdhi, yaitu: (1) mukha ‘benih alur yang bermula dari berbagai macam rasa’; (2) pratimukha ‘bertunasnya benih yang ditampakkan secara parsial’; (3) garbhā ‘perkembangan penuh hingga mencapai titik puncak yang sama di dalam mencapai keinginan’; (4) vimarśa ‘pengkajian terhadap pencapaian keinginan’; dan (5) nirvahana ‘kesimpulan: memadukan semua benang penghubung dan mengantar alur menuju sasaran akhir’ (Widyaseputra 2009: 6; Pande 1993: 14; Hooykaas 1958: 45; cf Vāgbhaṭa dalam Kāvyānuśāsana).
   Selanjutnya dalam rangka mendalami itivṛtta teks Kěṭoprak Lampahan Rěngganis, dimanfaatkan pemikiran Bhāmaha (Kāvyâlaṃkāra I, 19) yang menyata-kan sebagai berikut:

sargabandho mahākāvyaṃ mahataṃ ca mahac ca yat,
śragrāmya śabdam arthyaṃ ca sālaṃkāraṃ sadṛśyam


Untaian sarga-sarga adalah mahākāvya, yang (membicarakan) hal-hal besar,
dan memang agung,
menghindari ketidaksopanan ekspresi, mempunyai makna, memuat gaya-gaya bahasa, dan berbicara tentang kebaikan.
(Sastry 1970: 7).

Berdasarkan śloka Bhāmaha di atas dapat dikatakan bahwa lampahan kěṭoprak : (1) harus memiliki tema yang agung dan ditinggikan; (2) harus memasukkan semua rasa yang kanonik; dan (3) harus mengacu pada caturpuruṣārtha ‘empat tujuan hidup manusia’. Dari pengertian itu dapat ditunjukkan bahwa itivṛttā teks lampahan kěṭoprak secara bersamaan memberi sumbangan kepada makna pada semua tataran: epik-mite-ritual (Widyaseputra 2009: 7; cf Kāvyādarśa I, 14-22; Peterson 1991: 218; Shetterly 1976; Tubb 1979; Smith 1985).
Penelusuran makna lampahan Rěngganis dapat diikuti dari kehadiran nāyaka dan pratināyaka di sepanjang itivṛtta lampahan kěṭoprak, dan penelusuran makna melalui kehadiran kedua karakter itu akan berlandaskan pada Kāvyâlaṃkāra. Dalam hal ini Bhāmaha (Kāvyâlaṃkāra I, 22-23; cf Kāvyādarśa I, 14-19) menjelaskan sebagai berikut:

nāyakaṃ prāg upanyasya vaṃśavīryaśrutādhibhiḥ,
na tasyaiva vadhaṃ brūyād anyotkarṣabhidhitsayā

yai kāvyaśarīrasya na sa vyāpitayeṣyate,
na cābhyudayabhāktasya mudhādau grahaṇaṃ stave.

Setelah mendudukkan nāyaka di tempat pertama dengan memuji leluhur, keberanian, (dan) pengetahuan sucinya,
janganlah berbicara tentang penghancurannya dengan ingin meninggikan sanjungan kepada yang lain.

Apabila ia tidak akan dihadirkan ke dalam batang tubuh kāvya,
dan tidak apat ambil bagian alam kesuksesan, tidak ada gunanya ia diceritakan pada permulaan.
(cf. Sastrulu 1952: 8-10; Sastry 1970: 8-9)

Dari śloka di atas dapat diperoleh pengertian bahwa nāyaka hadir di sepanjang kāvyaśarīra, mulai awal sampai dengan akhir cerita, dan tidak boleh dibunuh (Widyaseputra 2009: 7; Gerow 1971: 29ff; cf. Kuiper 1979: 209-213), di samping itu, akhir dari naratif yang dipaparkan dalam kāvyaśarīra, harus menguntungkan. Seorang nāyaka yang termahsyhur tidak boleh dibinasakan. dengan berlandaskan pada konsep estetika kāvya, sebuah lampahan kěṭoprak sebaiknya memperlihatkan pengertian nāyaka berhasil mencapai kebajikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan, meskipun sutradara akan membuat pencampuran antara bahagia dan menderita. Dalam penutupan lampahan kěṭoprak lebih baik selalu dihasilkan pengalaman estetik yang mengagumkan. Bagian penutup itu seharusnya juga berisi pemberian anugerah (kebahagiaan), yang lebih jauh kepada nāyaka, dan pula puji-pujian baginya (Widyaseputra 2009: 8; cf. Warder 1989: 26-27). Sementara itu, pratināyaka adalah tokoh yang berseberangan dengan nāyaka, dan pratināyaka inilah yang menjadi sarana penentu dipuji-pujinya nāyaka pada akhir lampahan kěoprak (lih. Kaset Rěngganis yang diproduksi Fajar Record; Widyaseputra 2009: 8; cf. Warder 1990a: 105-106).
Kehadiran kedua karakter: nāyaka dan pratināyaka tentunya dipaparkan di sepanjang itivṛtta, dan itivṛtta itu dibagi menjadi sejumlah satuan-satuan naratif, yaitu: (1) nagara ‘lukisan tentang kota’; (2) ṛtu ‘lukisan enam  musim’; (3) candro-daya ‘terbitnya bulan’; (4) arkodaya ‘terbitnya matahari’; (5) udyanasalīlakrīḍa ‘bercengkerama di taman atau air’; (6) udyanakrīḍa ‘bercengkerama di taman’; (7) salīlakrīḍa ‘bercengkerama di air’; (8) madhupānaratotsava ‘bersenang-senang dengan minuman dan cinta; (9) vipralambha ‘pedih karena perpisahan’; (10) vivāha ‘perkawinan’; (11) kumārodayavarṇana ‘deskripsi tentang lahirnya dan tampilnya seorang pangeran’; (12) mantra ‘perundingan’; (13) prāyaṇa ‘perjalanan’; (14) āji ‘peperangan’; (15) nāyakābhyudaya ‘puji-pujian bagi sang pahlawan’; (16) ṛddhimat ‘akhir yang membahagiakan’; (17) asaŋkṣipta ‘tidak dipadatkan’; (18) rasa-bhāvanirantara ‘selalu diliputi suasana hati dan emosi puitis’; (19) anativistīrṇaḥ, ‘tidak diperpanjang’ (Widyaseputra 2009: 8; Hooykaas, 1958: 42-44). Satuan-satuan naratif yang membentuk itivṛtta dipandang sangat penting untuk ditunjukkan, karena itivṛtta merupakan kerangka atau struktur dasar yang menjadi ruang berlangsungnya perkembangan rasa; dan seperti yang ditunjukkan oleh Gary Tubb, karya: tujuan utama yang mengarahkan aksi pokok karya itu, dianggap sebagai elemen sentral di dalam analisis itivṛtta. Secara praktis dapat dikatakan bahwa vya adalah arti  menyeluruh, yang menghubungkan bagian-bagian berbeda dari sebuah karya yang utuh (Widyaseputra 2009: 8; Tubb, 1979: 142-150; Peterson, 1991: 217). Esensi rasa digunakan untuk memperkuat makna di dalam struktur-struktur naratif, rasa meliputi: (1) sṛnggara ‘asmara’; (2) hasya ‘komik’; (3) karuṇa ‘belas kasihan’; (4) raudra ‘ganas’; (5) vīra ‘kepahlawanan’; (6) bhayanaka ‘khawatir’; (7) bibhatsa ‘ngeri’; (8) adbhuta ‘takjub’; (9) śānta ‘tenang’; dan (10) bhakti ‘kasih Ilahi’(Widyaseputra 2012 bab III; Hooykaas, 1955; 1958; Supomo, 1977: I; Wiryamartana, 1990).
Usaha Dèwi Rěngganis untuk menjodohkan Pangèran Iman Suwangsa dengan Dèwi Kadarwati didasari oleh nasihat ayahnya, Běgawan Manikmaya, yang menuturkan bahwa Pangèran Iman Suwangsa bukanlah jodohnya. Dengan berdasakan rasa karuṇa yang ia miliki, Dèwi Rěngganis ikhlas melepaskan dan memberikan Pangèran Iman Suwangsa kepada Dèwi Kadarwati. Perkembangan rasa yang paling pokok dalam teks kěṭoprak lampahan Rěngganis yang ditandai dengan memuncaknya perseteruan antara Dèwi Rěngganis dan Rěsi Masuji, yang pada saat itu sedang adanya pertempuran hebat di Kuparman, sebaiknya dicermati dalam konteks tujuan heroik yang menjadi arah dari gerak utama teks kěṭoprak lampahan Rěngganis.

C. Strukur Naratif Teks Kĕṭoprak Lampahan Rěngganis

Secara umum, didapati genre vīracarita pada Hikayat Amir Hamzah selaku prototipe, Sěrat Rěngganis, dan naskah kěṭoprak lampahan Rěngganis sebagai transformasinya. Bila dicermati secara etimologis, vīracarita terdiri dari dua kata bahasa Sansekerta, yakni vīra dan carita. Secara harfiah, vīra memiliki arti ‘pahlawan’, ‘pemimpin’, atau ‘pemenang’ dan seringkali dipergunakan untuk perbincangan tentang sikap-sikap yang heroik (Macdonell 1954: 293), sedangkan kata carita mempunyai arti ‘perilaku’ dan kerapkali dipergunakan untuk perbincangan tentang kebiasaan yang baik, mulia, dan pantas (Macdonell 1954: 92), tetapi apa yang seharusnya dimengerti sebagai etika paling sering dimasukkan ke dalam kategori dharma. Akan tetapi, permasalahannya “bagaimanakah konsep dharma dalam vīracarita itu?”. J.A.B. Van Buitenen telah membuktikan bahwa di sepanjang vīracarita Mahābhārata, dharma sebaiknya diterjemahkan dengan “hukum” dan rupanya dapat dipahami dalam pengertian yang sama dengan pengertian Hukum dalam tradisi Jawa Kuna (Widyaseputra 2009: 1; cf. Jonker 1885; Hoadley and Hooker 1981). Dharma dipahami sebagai pengertian yang mendalam tentang moralitas yang dihayati oleh pribadi yang bijak. Juga dikenali bahwa dharma tidak selalu “dipahatkan pada batu”, tetapi dihayati dan mungkin hanya dapat dipahami dengan kontemplasi yang dalam. Di samping itu, pengertian hukum tampaknya memang mengabaikan aspek deskriptif dari dharma, karena dharma bukan hanya aspek yang sebaiknya dilakukan oleh seorang pribadi, tetapi harus menjadi sifat dasar setiap pribadi (Widyaseputra 2009: 1; Sutton 2000: 293-294). Oleh karena itu untuk memahami konsep dharma dalam naratif teks kĕṭoprak lampahan Rĕngganis yang bergenre vīracarita, diperlukan teori Bhāmaha untuk menguraikan konsep tersebut. Di bawah ini akan diuraikan teks kĕṭoprak lampahan Rĕngganis dengan menggunakan kāvyalaṃkara dari Bhāmaha dengan langkah-langkah: (1) Menyajikan garis besar naratif teks ṭoprak lampahan Rěngganis; (2) Menguraikan nāyaka dan pratināyaka dalam naratif teks ṭoprak lampahan Rěngganis; (3) Menunjukkan sambandha setiap satuan-satuan naratif naratif teks ṭoprak lampahan Rěngganis; dan (4) Menguraikan itivṛtta dalam naratif teks ṭoprak lampahan Rěngganis. Selanjutnya, penguraiannya ditunjukkan sebagai berikut.

C. 1. Garis Besar Naratif Teks Kěṭoprak Lampahan Rěngganis

Dalam rangka menelusuri nilai estetika yang terdapat dalam teks kěṭoprak lampahan Rěngganis, di bawah berikut ini akan disajikan garis besar naratif lampahan itu, yang akan disusun dengan menggunakan sistem itivṛtta yang diikuti oleh Indira V. Peterson untuk memaparkan Kirāṭārjuṇīya karya Bhāravi (Peterson 1991: 218-219). Adapun garis besar naratif teks ṭoprak lampahan Rěngganis itu sebagai berikut:



Garis Besar Naratif Teks Kěṭoprak Rěngganis




Déśa
Itivṛtta
Rasa



Něgara Kuparman
Perbincangan Prabu Jayèngrana dengan Adipati Umarmaya dan Raja Umarmadi tentang keberadaan Běṭara Nurséwan yang tidak ada di Negara Médayin maupun Negara Kuparman  (āsir); Pangèran Iman Suwangsa mendatangi Prabu Jayèngrana, melaporkan bahwa Běṭara Nurséwan dan Patih Běstak berada di Negara Mukadam (mantra); Prabu Jayèngrana mengutus Adipati Umarmaya dan Raja Umarmadi pergi ke Mukadam untuk memastikan laporan Pangèran Iman Suwangsa mengenai keberadaan Běṭara Nurséwan (dūta).

Tujuan: Dharma
Bhayanaka dan Vīra



Taman Banjaransari
Dèwi Rěngganis dengan wujud yang tidak nampak mendatangi Taman Banjaransari (nāyaka); Dèwi Rěngganis bermain-main, memetiki bunga-bunga Taman Banjaransari, dan mengganggu kedua abdi Pangèran Iman Suwangsa (udyana-salila-krida);  Pangèran Iman Suwangsa memarahi kedua abdinya, karena dinilai tidak mampu menjaga Taman Banjaransari sehingga bunga-bunga dipetik oleh orang yang tidak menampakkan wujud aslinya (mantra); Pangèran Iman Suwangsa tidak menjadi marah dan malah jatuh cinta ketika melihat wujud nyata Dèwi Rěngganis (mantra); Pangèran Iman Suwangsa memikat hati Dèwi Rěngganis dan ingin meperistrinya (rasabhāvanirantara); Dèwi Rěngga-nis menolak dan meninggalkan Pangèran Iman Suwangsa (vipralambha); Pangèran Iman Suwang-sa mengejar Dèwi Rěngganis ke Pertapaan Argapura (prāyana).

Tujuan: Dharma
Karuṇa



Pěrtapan Argapura
Nasihat Běgawan Manikmaya kepada Dèwi Rěngganis bahwa Dèwi Rěngganis tidak ditakdirkan berjodoh dengan Pangèran Iman Suwangsa (mantra); Pangèran Iman Suwangsa sampai pada Pěrtapan Argopura, ditemui Běgawan Manikmaya (prāyana); Dèwi Rěngganis berniat menjodohkan Pangèran Iman Suwangsa dengan Dèwi Kadarwati (mantra).

Tujuan: Artha dan Dharma
Bhakti



Kraton Něgara
Mukadam
Patih Běstak bersama Běṭara Nursèwan datang kepada Prabu Mukaji di Něgara Mukadam (prāyana); Atas hasutan Patih Běstak, Prabu Mukaji bersedia untuk: (1) melindungi Běṭara Nurséwan dari Amir Ambyah; (2) menyerang Něgara Kuparman; dan (3) menjodohkan Pangèran Hérman dengan Dèwi Kadarwati (mantra); Rěsi Majusi meramalkan bahwa Něgara Mukadam akan didatangi seorang maling yang akan menculik Běṭara Nurséwan (mantra); Prabu Mukaji, Rěsi Majusi, dan para pembesar Mukadam membuat perangkap untuk menangkap maling yang telah diramalkan itu (mantra).

Tujuan : Artha
Raudra



Něgara Mukadam
Adipati Umarmaya dan Raja Umarmadi memikirkan cara untuk memastikan keberadaan  Běṭara Nurséwan di Mukadam dari luar benteng Mukadam (mantra); Raja Umarmadi gagal menahan Adipati Umarmaya supaya tidak memanjat benteng Mukadam (mantra); Adipati Umarmaya berhasil ditangkap dan diceburkan ke Sumur Upas oleh Resi Masuji dan Prabu Mukaji (āji); Raja Umarmadi sedih dengan nasib buruk yang menimpa Adipati Umarmaya sehingga ia kembali ke Kuparman untuk melaporkan peristiwa tersebut (prāyana).

Tujuan : Artha
Raudra dan Karuṇa



Taman Mukadam
Dèwi Kadarwati yang ditemani Ěmban, sedang bercengkerama di Taman Mukadam (udyāna-kriḍa); Dèwi Rěngganis dan Ěmban menghibur Dèwi Kadarwati yang sedang bersedih hati karena akan dijodohkan dengan Pangèran Hèrman (mantra); Pangèran Iman Suwangsa muncul dan mengaku sebagai wujud samaran Dèwi Rěngganis hingga Dèwi Kadarwati terhibur dan menyukai Pangèran Iman Suwangsa (mantra); Atas prakarsa Dèwi Rěngganis, Dčwi Kadarwati mau diperistri Pangčran Iman Suwangsa (mantra); Ěmban memberitahu Pangèran Iman Suwangsa bahwa Adipati Umarmaya dikurung di Sumur Upas dan akan dihukum mati oleh Prabu Mukaji (mantra); Dèwi Rěngganis, Pangèran Iman Suwangsa, Dèwi Kadarwati, dan Ěmban pergi ke Sumur Upas untuk menyelamatkan Adipati Umarmaya (prāyana).

Tujuan : Dharma
Karuṇa dan Śṛṅgara





Sumur Upas
Dèwi Rěngganis mengeluarkan kesaktiannya untuk menyingkirkan batu besar yang menutupi Sumur Upas (āji); Dèwi Rěngganis, Pangèran Iman Suwangsa, dan Dèwi Kadarwati membantu Adipati Umarmaya keluar dari Sumur Upas, mereka lalu pulang menuju ke Kuparman (prāyana); Prabu Mukaji beserta para prajurit Mukadam mengejar mereka (prāyana).

Tujuan: Kāma

Vīra dan Raudra



 

Něgara Kuparman
Yuddha Dèwi Rěngganis dan Rěsi Majusi, Rěsi Majusi gugur (nāyakâbhyudaya); yuddha Prabu Mukaji melawan Prabu Jayěngrana, Prabu Mukaji gugur (āji); prajurit-prajurit Mukadam yang kalah melarikan diri (asaṅkṣipta).

Tujuan: Artha dan Dharma

Vīra


Selanjutnya akan diuraikan nāyikā-pratināyaka, sambandha, dan itivṛtta pada C. 2. berdasarkan garis besar struktur naratif teks ṭoprak lampahan Rěngganis yang telah disajikan di atas.

C. 2. Nāyikā dan Pratināyaka

Dari titik pandang varṇa, Dèwi Rěngganis dalam naratif teks ṭoprak lampahan Rěngganis didudukkan sebagai nāyikā, sedangkan Rěsi Majusi sebagai pratināyaka. Keduanya memiliki kedudukan yang sama, yakni brāhmaṇa, karena keduanya terkait dengan masalah religi dan teologi. Di dalam kanon Mokṣadharma dinyatakan bahwa seorang brāhmaṇa sebaiknya melaksanakan ritual-ritual dan melaksanakan yajña. Ia mempelajari pustaka suci dan mengajarkannya. Sementara itu, di dalam ajaran Rājadharma dinyatakan bahwa kṣatriya sebaiknya memberi tanpa menerima dāna, melaksanakan yajña meskipun bukan sebagai brāhmaṇa, selalu melindungi rakyatnya, aktif dalam menumpas kejahatan, dan memperlihatkan kepahlawanannya di raṇānggana (Widyaseputra 2009: 24). Karakter brāhmaṇa dan kṣatriya dapat dijumpai pada nāyikā naratif teks Kĕṭoprak Lampahan Rěngganis, yang tidak lain adalah Dèwi Rěngganis, sehingga Dèwi Rěngganis disebut juga kṣatriya-saṃnyāsin.
Dalam hal ini, baik Dèwi Rěngganis maupun Rěsi Masuji memang pantas dan layak dikategorikan sebagai brāhmaṇa, kendatipun Dèwi Rěngganis memiliki kedudukan yang lebih istimewa daripada Rěsi Masuji, yakni sebagai kṣatriya-saṃnyāsin. Adapun alasannya dapat dijumpai pada itivṛtta ke-2, ke-3 dan ke-4 dari garis besar naratif teks Kĕṭoprak Lampahan Rěngganis yang telah disajikan. Disebutkan pada itivṛtta kedua bahwa Dèwi Rěngganis melakukan dharma-nya sebagai seorang brāhmaṇā putri dengan menolak untuk diperistri Pangèran Iman Suwangsa yang berkedudukan sebagai seorang kṣatriya. Selanjutnya, posisinya sebagai brāhmaṇā dipertegas pada itivṛtta ketiga lewat nasihat ayahnya, yakni Běgawan Manikmaya, yang menuturkan bahwa Dèwi Rěngganis tidak ditakdirkan berjodoh dengan Pangèran Iman Suwangsa, meskipun kedua insan itu sama-sama telah terimpresi oleh karuṇarasa. Pada akhirnya, Dèwi Rengganis dapat menerima kenyataan bahwa secara hakiki Pangèran Iman Suwangsa bukanlah pasangan hidupnya. Akan tetapi, hal yang berlainan dialami Pangèran Iman Suwangsa, yang terlanjur gandrung kapilawung dengan Dèwi Rěngganis, tidak mampu menerima kenyataan bahwa Dèwi Rěngganis bukanlah jodohnya. Melihat keadaan Pangèran Iman Suwangsa demikian, dengan karuṇarasa-nya, sang nāyikā akhirnya mengajak Pangèran Iman Suwangsa untuk diperkenalkan dengan saudari angkatnya, yakni Dèwi Kadarwati, putri mahkota Prabu Mukaji dari Něgara Mukadam, dengan maksud ingin menjodohkan mereka berdua. Sementara itu, karakter brāhmaṇa ditunjukkan Rěsi Majusi pada itivṛtta ke-4, yang menarasikan perbincangan antara Prabu Mukaji beserta para anteknya dengan Patih Běstak dan Bětara Nurséwan di nagara Mukadam. Lalu kemunculan Rěsi Masuji secara tiba-tiba pada perbincangan itu membuat orang-orang seisi istana Mukadam menjadi gaduh, karena pihak pratināyaka lewat kemampuan dīvyacakṣus-nya, meramalkan bahwa Něgara Mukadam akan kedatangan maling yang akan menculik Běṭara Nurséwan, sehingga Rěsi Masuji dan Prabu Mukaji beserta para anteknya mempersiapkan jebakan untuk maling yang akan mendatangi Mukadam itu.
Berdasarkan hal di atas, dapat dipahami bahwa baik pihak nāyikā dan pihak pratināyaka dapat dikategorikan sebagai brāhmaṇa melalui keistimewaan yang ditunjukkan pada itivṛtta teks kĕṭoprak lampahan tersebut. Adapun posisi istimewa yang dimiliki Dèwi Rěngganis sebagai kṣatriya-saṃnyāsin, mempunyai keterikatan dengan kedudukannya sebagai nāyikā. Dalam memenuhi sikap-sikap heroiknya, Dèwi Rěngganis yang seorang brāhmaṇa sengaja mendudukkan diri sebagai seorang kṣatriya demi menegakkan konsep dharma yang dikontemplasikan sebagai “hukum” dalam naratif teks kěṭoprak lampahan Rěngganis bergenre vīracarita. Hal ini ditunjukkan dalam itivṛtta ke-8 dan ke-9. Dèwi Rěngganis diceritakan berhasil membebaskan dan melarikan Adipati Umarmaya dari Sumur Upas ke Kuparman, yang dengan kesaktiannya dapat membelah dan menyingkirkan batu besar yang menutupi sumur beracun itu. Tindakannya telah memancing Rěsi Masuji dan Prabu Mukaji seanteknya menyerang Kuparman, tetapi Dèwi Rěngganis yang dalam hal ini selaku nāyikā dapat membunuh Rěsi Masuji selaku pratināyaka melalui yuddha. Dalam hal ini, Dèwi Rěngganis sebagai seorang brāhmaṇā telah mengamalkan ajaran Rājadharma untuk kṣatriya, yang menyatakan bahwa dharma tertinggi kṣatriya adalah melukai kṣatriya yang lain, sehingga bukan perbuatan terpuji, ketika ia menghancurkan penjahat yang hina dan rendah (Widyaseputra 2009: 25; Sutton 2000: 299). Dipertegas pula dalam naratif, bahwa Dèwi Rěngganis telah melaksanakan svadharma seorang kṣatriya, yakni yuddha, adalah perbuatan yang berkaitan dengan kekerasan.

C. 3. Sambandha

Berdasarkan kamus Jawa Kuna-Indonesia Zoetmulder, secara harafiah kata sambandha mempunyai arti sebagai berikut :

Skt hubungan, pertalian, hubungan kepada: hubungan pribadi, kekerabatan, persahabatan; kerabat, sanak saudara, teman.
Jk hubungan, pertalian, sebab, alasan, peristiwa.
(Zoetmulder 2006: 1000).

Dalam konteks penghayatan estetika teks kĕṭoprak lampahan Rĕngganis, Běṭara Nurséwan dapat didudukkan sebagai sambandha, karena di samping menjadi penyebab munculnya pelbagai peristiwa di dalam naratif, Běṭara Nurséwan juga menjadi “penghubung” bertemunya pihak nāyikā dan pihak pratināyaka dalam yuddha. Perlu dipahami identitas Běṭara Nurséwan dalam kĕṭoprak lampahan Rĕngganis yang menjadi sangat krusial dalam memunculkan peristiwa-peristiwa yang membentuk tatanan itivṛtta dengan rapi. Pada itivṛtta pertama, ditunjukkan kekhawatiran Prabu Jayèngrana terhadap Běṭara Nurséwan yang pergi meninggalkan Kuparman tanpa seizin dan sepengetahuannya. Kekhawatirannya terhadap Běṭara Nurséwan dilatarbelakangi hubungan antara keduanya yang sangat dekat, yang kedekatannya itu ditunjukkan dalam kutipan dialog (mp3 1, 10’29”-11’05”) berikut.

Prabu Jayèngrana
:
“Kakang Umarmadi lan Kakang Umarmaya, dudu kuwi kang tak kěrsakaké, aku munḍut atur wawasanmu, apa sěbabé Rama Prabu Běṭara Nurséwan ora kěrsa lěnggah ana ing Mědayin utawa nḍèrèk aku ana ing Kuparman kéné?. Aku iki rak putra mantuné ta, tinimbang ngulan-dara, ngěmpèk-ěmpèk ana ing liya praja, ana ing liya něgara, lak malah ora prayoga, lak luwih prayoga upama kěrsa lěnggah sěkéca néng Něgara Kuparman kéné ta!”



Raja Umarmadi
:
“Unjuk atur Tiyang Agung!”

Berdasarkan cuplikan singkat dialog antara Prabu Jayèngrana dan Raja Umarmadi, dapat dimengerti bahwa kedudukan Prabu Jayèngrana ialah sebagai menantu Běṭara Nurséwan. Dalam hal ini, kepergian Běṭara Nurséwan dari Médayin menimbulkan kekhawatiran putra menantu. Kepergiannya yang ternyata ke Mukadam atas hasutan Patih Běstak, memunculkan afair-afair dalam itivṛtta naratif teks kěṭoprak lampahan Rěngganis, yang antara lain: (1) Berangkatnya Adipati Umarmaya dan Raja Umarmadi ke Mukadam dalam rangka memastikan laporan Pangèran Iman Suwangsa mengenai keberadaan Běṭara Nurséwan dan Patih Běstak di Mukadam; (2) Keputusan yang ditetapkan Prabu Mukaji untuk segera menyerang Kuparman dan  menjodohkan Pangèran Hérman dengan Dèwi Kadarwati, putrinya, dengan dilandasi keinginan untuk melindungi dan menjalin hubungan yang lebih baik dengan Běṭara Nurséwan; (3) Tertangkapnya Adipati Umarmaya oleh Rěsi Majusi dan Prabu Mukaji, yang kemudian diceburkanlah ia ke dalam Sumur Upas; (4) Yuddha antara Déwi Rěngganis dan Rěsi Majusi serta yuddha antara Prabu Jayèngrana dan Prabu Mukaji. Oleh karena itu itivṛtta naratif teks kěṭoprak lampahan Rěngganis banyak menghadirkan satuan naratif mantra, yang kemunculan setiap peristiwa didasarkan atas perundingan untuk mengatur perilaku para tokoh yang kemudian menciptakan kejadian-kejadian beruntun yang akan mempertemukan tiap-tiap tokoh di dalamnya.
            Berdasarkan hal itu, peran sambandha dalam naratif teks kěṭoprak lampahan Rěngganis menjadi lebih esensial, yakni dalam mempertemukan nāyikā dan pratināyaka. Dalam hal ini, bertemunya Dèwi Rěngganis dengan Rěsi Majusi bukanlah suatu hal yang kebetulan, melainkan merupakan nāyakâbhyudaya yang patut dihadirkan dalam setiap naratif bergenre vīracarita. Dengan kata lain, sambandha berperan membentuk satuan naratif nāyakâbhyudaya melalui yuddha antara nāyikā dan pratināyaka. Dalam konteks naratif teks Kěṭoprak Lampahan Rěngganis, pertemuan Dèwi Rěngganis dengan Rěsi Majusi melalui yuddha, dilatarbelakangi peristiwa mengungsinya Běṭara Nurséwan di Mukadam, yang pada akhirnya berakibat pada tertangkapnya Adipati Umarmaya oleh Rěsi Majusi, yang kemudian pembebasannya oleh Dèwi Rěngganis menyebabkan Rěsi Majusi mengejarnya, lalu tewas akibat yuddha dengannya.

C. 4. Itivṛtta

Berdasarkan garis besar struktur naratif teks ṭoprak lampahan Rěngganis yang telah disajikan pada C.1., dapat dilihat bahwa itivṛtta lampahan itu dengan rapi dan tertata memuat banyak satuan naratif mantra, yang disajikan hampir di setiap itivṛtta-nya. Itivṛtta itu menyiratkan makna, yang dilengkapi dengan materi-materi yang diperlukan oleh lampahan kĕṭoprak. Dipandang dari segi rasa, perkembangan vīrarasa dalam teks keṭoprak lampahan Rěngganis menunjukkan bahwa Handung Kusudyarsono, dengan sangat berhasil, menempatkan materimateri yang digunakan untuk membantu rasa yang utama, yakni vīrarasa (Widyaseputra 2009: 19; cf. Peterson 1991:219; Amaladass 1984; Masson 1972; Tubb 1978).
 Kĕṭoprak lampahan Rĕngganis membangkitkan vīrarasa sebagai tema sentralnya, dan tema itu dibangkitkan melalui kehadiran Dèwi Rĕngganis sebagai nāyikā. Hal itu berarti Dèwi Rĕngganis hadir hampir di sepanjang itivṛtta teks kĕṭoprak lampahan Rĕngganis, mulai sejak awal itivṛtta, yaitu sejak tibanya Dèwi Rĕngganis di Taman Banjaransari milik Pangèran Iman Suwangsa sampai yuddha­-nya dengan Rěsi Majusi. Rasa yang dibangkitkan pada naratif bagian déśa Taman Banjaransari, adalah Karuṇarasa ‘kasih sayang’, yang melandasi Dèwi Rěngganis menghadirkan vīrarasa ‘kepahlawanan’ di setiap itivṛtta naratif teks kĕṭoprak lampahan Rĕngganis. Pada episode yang sama dijelaskan pula bahwa Dèwi Rěngganis memilih dharma sebagai tujuan hidup yang paling sesuai baginya di dalam lingkungan dan tataran hidupnya, dan ditandai ketika ia menolak pinangan Pangèran Iman Suwangsa karena tahu bahwa sang pangeran bukan jodohnya, meski ia pun mengasihinya, hingga akhirnya ia rela memberikan pria yang ia kasihi itu kepada saudari angkatnya, yakni Dèwi Kadarwati. Pencobaan-pencobaan yang ia hadapi merupakan landasan bagi dharma-nya sebagai kṣatriya-saṃnyāsin, dan landasan itu merupakan sarana yang mengantarkan Prabu Jayèngrana mencapai keberhasilan dalam mengalahkan Prabu Mukaji. Ketahanan Dèwi Rěngganis dengan dharma sebagai seorang nāyikā dalam konteks skema caturpuruṣārtha, semakin mempertegas landasan moral vīrarasa. Di dalam semangat Dèwi Rěngganis yang ulet, tekun, dan aktivitasnya menghadapi segala macam tantangan dan godaan, sekiranya dicermati utsāha-nya (energi, usaha yang keras untuk mencapai tujuan): sthāyibhāva yang secara kanonik dijadikan dasar vīrarasa (Widyaseputra 2009: 20; cf. Peterson 1991: 220; Tubb 1991: 171-203; Masson and Patwardhan 1969; Gerow and Aklujkar 1972: 80-87; Raghavan 1967; Pandey 1944: 326-330; Smith 1985).

D. Simpulan

Lampahan Rěngganis, yang terdapat dalam tradisi kěṭoprak Yogyakarta, ternyata mengandung banyak pesan, yang berupa nilai-nilai. Penelusuran naratif teks Kěṭoprak Lampahan Rěngganis itu dengan menggunakan teori estetika kāvya Sansekerta, yakni teori Alaṃkāra yang dikemukakan oleh Bhāmaha, dapat diungkapkan sejumlah hal: (1).  Dapat diketahui kehadiran nāyikā dan pratināyaka, yaitu Dèwi Rěngganis dan Rěsi Majusi. (2). Dapat dipahami sambandha, yakni pengembaraan Běṭara Nurséwan ke Mukadam, yang lalu membentuk tiap-tiap satuan naratif dan mempertemukan nāyikā dan pratināyaka dalam teks kěṭoprak lampahan Rěngganis. (3) Kehadiran setiap karakter dapat membentuk itivṛtta, yang menyiratkan nilai estetika dan nilai etika. (4). Dalam hal nilai estetika, naratif teks kěṭoprak lampahan Rěngganis tetap mempertahankan nilai estetika yang terdapat dalam Rāmāyaṇa Sansekerta, yakni karuṇarasa yang dimanifestasikan melalui vīrarasa. (5). Nilai estetika ini dapat dijadikan pangkal pijak mengangkat nilai etika, yang harus dimulai dari tataran epik.
Dengan demikian dapat ditegaskan bagi para seniman bahwa untuk mengungkapkan nilai-nilai yang tersirat dalam lampahan-lampahan kěṭoprak, sangat ditekankan untuk menguasai itivṛtta lampahan-lampahan kěṭoprak dengan sempurna. Ia tidak perlu secara khusus dan eksplisit menampilkan ajaran-ajaran atau dogma-dogma tertentu kepada pemirsanya, karena dalam tradisi kěṭoprak Yogyakarta, lampahan kěṭoprak pada dasarnya merupakan penaratifan suatu ajaran atau dogma tertentu dengan nuansa yang ritualistik. Lampahan Rěngganis, dengan cemerlang berhasil menyajikan itivṛtta yang sangat menarik dan menyiratkan konsep dharma, ‘etika’ melalui rasa dan naratif itu ditunjukkan dengan yuddha, yang sebenarnya adalah peristiwa ritual yajña. Pengertian ini sangat penting diketahui dalam rangka penelusuran masalah etika dalam tradisi kěṭoprak Yogyakarta, karena sebagaimana diketahui bahwa ritual sebenarnya merupakan blue-print dari etika (Widyaseputra 2009: 27). Oleh sebab itulah penting kiranya dilakukan penelusuran-penelusuran yang lebih mendalam terhadap lampahan-lampahan kěṭoprak dari berbagai macam tradisi, sehingga melalui karya itu dapat dimengerti berbagai macam karakteristik etika yang dimiliki oleh semua etnis di Kepulauan Nusantara ini.


Daftar Pustaka
 
Anand, Amaladass, SJ., 1984 Philosophical Implications of Dhvani. Experience of Symbol Languages in Indian Aes­thetics. Vienna: Gerald & Co.
                   
Behrend, T. E., 1990, Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara I: Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Braginsky, V. I., 1998, Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS.

Gerow, Edwin, 1971, A Glossary of Indian Figures Speech. The Hague-Paris: Mouton.

Hoadley, M.C. and M.B. Hooker, 1981, An Introduction to Javanese Law. A Translation of and Comentary on the Agama. Tucson, Arizona: The University of Arizona Press.

Jonker, Johann Christoph Gerhard, 1885, Een Oud-Javaansch Wetboek Vergeleken met Indische Rechtsbronnen. Proefschrift Rijksuniversiteit Leiden. Leiden: E.J. Brill.

Kuiper, F.B.J., 1979, “Vāruṇa and Vidūṣaka. On the Origin of the Sanskrit Drama”, VKNAWL, Nieuwe Reeks, Deel 100, Amsterdam, Oxford, New York: North- Holland Publishing Company.

MacDonall, Arthur Anthony, 1979, A Practical Sanskrit-English Dictionary. London: Oxford University Press.

Masson, J.L., and M.V. Patwardhan,  1969, Śāntarasa and Abhinavagupta’s Philosophy of Aesthetics. Poona: Bhandarkar Oriental Research Institute.

Hooykaas, C., 1958,  “The Old Javanese Rāmāyaṇa. An Exemplary Kakawin as to Form and Content”, VKNAWL, Nieuwe Reeks, Deel LXV, No. 1, Amsterdam: N.V. Noord-Hollandsche Uitgevers Maatschappij.

Pande, Anupa, 1993, The Nāṭyaśāstra Tradition and Ancient Indian Society. Jodhpur: Kusumanjali.

Peterson, Indira V., 1991, “Arjuna’s Combat with the Kirāta: Rasa and Bhakti in Bhāravi’s Kirātārjunīya”, in: Arvind Sharma, (ed), Essays on the Mahābhārata. Leiden-New York-København-Koln: E.J. Brill.

Pandey, K.B., 1944, “Dhanañjaya and Abhinavagupta on Śāntarasa”, Proceeding of the All India Oriental Conference 12, p. 326-350.

Poerbatjaraka, R.Ng., 1952, Kapustakan Djawi. Djakarta: Penerbit Djambatan.

Raghavan, V., 1967, Number of Rasas. Second Edition. Madras: Adyar Library.

Sastrulu, Vavilla Venkatesvara, 1952,  Kāvyadarśa˙. Madras.

Sastry, Naganatha, P.V., 1970, Kāvyālaṃkāra of Bhāmaha. Delhi, Varanasi, Patna: Motilal Banarsidass.

Shetterley, Indira V., 1976, “Recurrence and Structure on Sanskrit Literary Epics: A Study of Bhāravi’s Kirātārjunīya”, Harvard University PhD. Thesis, Department of Sanskrit and Indian Studies.

Smith, David, 1985, Ratnākara’s Haravijaya: An Introduction to the Sanskrit Court Epic. Delhi: Oxford University Press. 

Supomo, S., 1977, “Arjunawijaya. A Kakawin of Mpu Tantular”, BI 14. 2 vols. The Hague: Martinus Nijhoff.

Sutton, Nicholas, 2000, Religious Doctrines in the Mahābhārata. Delhi: Motilal Banarsidass Publisher Private Limited.

Tubb, Gary Alan, 1979, “The Kumārasambhava in the Light of  Indian Theories of the Mahākāvya”, Harvard University PhD. Thesis, Department of Sanskrit and Indian Studies.

Warder, A.K., 1990a, Indian Kāvya Literature. Volume Two: The Origins and Formation of Classical Kāvya. Delhi: Motilal Banarsidass Publishers PVT, LTD.

Widyaseputra, Manu J., 2001a, “Relevansi Analisis Tekstual dan Kontekstual untuk Memahami Pentas Wayang Kulit dalam Masyarakat Jawa Masa Kini: Sebuah Kasus tentang Lakon Pandhu Swarga”, Humaniora. Jurnal Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Volume XIII, no. 2, p. 194-203.

___________, 2009, Srikandhi: Strī Pūrvaṃ Paścāt Puṃstvam dalam Tradisi Wayang Yogyakarta. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.

Wiryamartana, I. Kuntara, 1990, Arjunawiwāha. Transformasi Teks Jawa Kuna Lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana Press.

Zoetmulder, P. J., 1985, Kalangwan. Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Penerjemah Dick Hartoko SJ. Jakarta: Penerbitan Jambatan. Cetakan II

___________., 2006, Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Penerjemah Darusuprapta, Sumarti Suprayitna. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Cetakan  VI

Zakariya Pamuji Aminullah