Rabu, 08 Agustus 2012

Tahta Tanpa Mahkota

Dewa! Bencikah kau padaku? Akulah Duryudhana Raja Astina! Tapi aku Raja tanpa Mahkota. Raja tanpa kehormatan. Ironi memang. Lihatlah dewa! Para Pandhawa, sepupuku sendiri, mereka tak bertahta namun bermahkota. Oh Dewa, Pandhawa anak-anakmu, Yudhistira, anak Dewa Dharma. Arjuna anak Dewa Indra. Bima putra Dewa Bayu. Dewa Aswan-Aswin berketurunan Nakula dan Sadewa. Semuanya adalah anak-anakmu dewa!
Sedangkan aku? Apa aku keturunan Dewa? Tidak! Aku hanya keturunan ayah yang buta dan ibu yang terpaksa mengawini ayahku. Memang sudah semestinya para Dewa itu membela anak-anaknya. Tidak ada salahnya. Lantas apa salahku berjalan pada pendirianku? Aku melakukan apa yang seharusnya ku lakukan. Apa salahnya berbuat dharma sesuai porsiku?
Aku anak pertama dari Destarata, anak pertama kakekku Abiyasa. Ayahku lah sang Penerus kerajaan Astina dan tahta itu akan berkelanjutan padaku, Duryudhana, putra mahkota Astinapura. Tapi apa yang tersurat, ayahku terlahir buta, dan tahtanya diberikan pada adiknya Pandu, ayah dari para Pandhawa. Ohh Dewa, mengapa kau begitu membenciku? Apa aku tak boleh secuilpun mendapat kehormatan yang seharusnya sudah melekat dalam tulangku dan mengalir dalam darahku.
Memang saat ini tahta itu ada padaku, tapi semesta ini bukan milikku, ia tak mendukungku. Semesta menginginkan Pandhawa bertahta, oh Dewata, dosa apa yang kulakukan sehingga semua terjadi sehingga apapun yang kulakukan merupakan kesalahan terbesar dan contoh buruk bagi umat manusia. Senista itukah hidupku, orang-orang yang ku percaya pun lebih menggadaikan harapannya pada Pandhawa. Kakek Bhisma pun saat ajal menjemputnya, lebih memilih disentuh oleh panah Arjuna daripada oleh tanganku, sebegitu nistakah aku sehingga Panah arjuna lebih mulia daripada tanganku. Durna yang hidup dalam lindunganku pun lebih menyayangi Bima daripada aku. Ayahku yang sangat menyayangi akupun berkedok mempercayai aku, namun hatinya masih berbekas Pandhawa, oh Sang Hyang Wenang.. apa salahku?
Hidupku dipenuhi iri. Hidupku dipenuhi dengki, ya! Apa itu salah? Salahkah aku mempertahankan tanah Astina agar bisa ku bagi dengan 99 adik ku, cukupkah Astina untuk dibagi rata dengan 100 kurawa. Entah angin apa yang memengaruhi saudara ku Pandhawa yang meminta Astina untuk dibagi 5 orang, sedangkan aku sedang mempertahankannya untuk kubagi rata dengan ke -99 saudaraku. Adil kah aku jika merelakan Astina untuk Pandhawa, sementara ke-99 adikku hidup tanpa lindungan dan tanpa sepetak tanahpun yang seharusnya menjadi hak mereka? Usahaku mempertahankan Astina tak semata oleh keegoisanku akan tahta, dan bukan semata kelaparanku akan mahkota, tapi semata-mata hanya untuk kemuliaan saudara sedarahku.
Angin itu begitu riuh menghancurkan kehormatanku, menerbang impianku, dan melebur segala asaku. Dadaku sesak, rambutku rontok, darahku merah, darahku panas. Hatiku? Ah apa mereka kira aku punya hati? Apa mereka tahu bahwa hatiku ini seperti hati mereka juga yang menginginkan tahta ini? Yang mereka tahu hanyalah batu mengisi tiap sisi hatiku ini.
Dan perang pun tak terelakkan. Apakah aku mau berhadapan dengan sepupuku sendiri para Pandhawa? Tidak! Sungguh tidak. Aku berperang atas nama kehormatan ku sebagai raja dan ksatria Astina. Aku berperang dari kemunafikan Pandhawa. Aku berperang dari ketidakadilan Dewa padaku, aku berperang dari hatiku. Salahkah aku mengikuti kata hatiku?
Dingin, memang dingin tanah kuru, angin berhembus membawa bau anyir darah dan amis dari potongan telinga yang tergeletak diujung anak panah yang begitu perkasa menancap pada sebuah batang pohon. Oh Dewa, mengapa kau tuliskan kata perang dalam suratan takdirku. Apa kata damai tidak bisa menggantikan segalanya?
Perang memang perkasa, perang menghanguskan segalanya, ia menghanguskan cinta, melibas harapan, membakar nurani. Padang Kuru menyaksikan keperkasaannya, ksatria agung gugur di hamparannya, apa semua ini salahku? Apakah Pandhawa begitu suci sehingga tak memiliki noda akan perang ini?
Ya, akulah noda itu, akulah api yang membakar nurani ku sendiri, akulah kegelapan dari semua cahaya, dan semua itu memang persis yang dituliskan Dewa akan takdirku. Busuk! Mungkin itulah kata pertama ketika tiap orang tua menceritakan dongeng Bharatayudha pada anaknya jika ia sedang menceritakan kisahku pada anak-anak mereka. Antagonis! Mungkin itu kata pertama yang muncul saat para sastrawan membaca akan kisahku.  Ya! Akulah antagonis itu yang membuat para Pandhawa menjadi protagonis. Kejahatan ada agar kebaikan selalu bertaring dalam kehidupan ini, dan aku salah satu yang berhadapan dengan keganasan taringmu!
Dan kini aku telah mati, Bima, saudaraku lah yang menyempurnakan kehidupanku dengan kematian ini. Aku mati, tapi namaku belum mati, namaku masih terstempel cap contoh buruk sifat manusia. Biarlah, Pandhawa memang agung, Kejahatanku melambungkan kebaikan Pandhawa, ya, mungkin itulah kebaikanku, memuliakan saudaraku. Oh Dewa! Habis sudah aku, Neraka sudah menjemputku, aku relakan Surga ku untuk saudaraku para Pandhawa. Api neraka lebih cocok membakar hatiku yang sudah terlanjur jadi abu saat aku masih di bumi. Biarlah semua orang tak menginginkanku dan bersorak-sorai atas kematianku. Tapi aku yakin, seseorang akan membaca kisahku, dan akan menuliskan kisahku, ya! Kisahku! Kisah rinduku akan keadilan, kisah rinduku akan kehormatan, aku yakin itu! Suatu saat nanti, karena suatu saat nanti akan ada yang menerangi sisi gelap ini
***
Aku tersenyum, ku tutup tulisanku, tak ku bubuhkan tulisan the end dalam tulisan ini, dalam kalimat terakhirpun tak kububuhkan tanda titik , aku tekan tombol ctrl+s dan ku beri judul file ini dengan “tahta tanpa mahkota”,  kemudian aku shutdown laptopku. Ku ambil sebatang rokok, kunyalakan rokok itu, aku menghisapnya dalam-dalam lalu ku hembuskan bersama dengan angin yang menelusup dari ventilasi kamarku, nikmat, dan akupun masih tersenyum. 

Raditya Mahendra

Kamis, 02 Agustus 2012

Kajian Intertekstual dan Alih Wahana Film Opera Jawa karya Garin Nugroho dengan Naskah Rama Karya Kartapradja


  
  1.    Pendahuluan

Sastra merupakan salah satu cabang seni, dan seni merupakan salah satu unsur dari kebudayaan. Budaya adalah hasil cipta rasa dan karsa manusia sebagai pelaku budaya. Budaya adalah hal yang dinamis, bergerak sesuai tempatnya berpijak. Sama halnya dengan sastra, sastra berkembang sesuai dengan masyarakat yang berkembang. Masyarakat sudah banyak menghasilkan karya sastra, masyarakat juga telah banyak membaca dan menikmati berbagai karya sastra dari berbagai bentuk. Atas dasar hal tersebut, kajian Intertekstual adalah salah satu teori yang bisa menjembatani  perkembangan sastra modern saat ini dengan naskah-naskah lama yang ada.
Kajian Intertekstual awalnya dikembangkan oleh peneliti Perancis , Julia Kristeva, walaupun pada dasarnya prinsip ini telah diketahui pula oleh para formalis. Prinsip ini berarti bahwa setiap teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain ( Teeuw 1984 : 145). Hal tersebut benar adanya karena tidak ada teks yang mandiri berdiri sendiri, suatu teks pasti mendapat ilham atau ide-ide dari teks lain yang sudah ada sebelum teks tersebut, sehingga pengembangan dari teks tersebut yang menyebabkan adanya kajian Intertekstual. Teeuw (1984 : 146) mengatakan bahwa konsep intertekstualitas memainkan peranan yang sangat penting dalam semiotik sastra, tidak hanya dalam usaha untuk sekadar member interpretasi tertentu terhadap karya sastra yang konkrit saja.
Dalam hal ini, kajian intertekstual di Indonesia sangatlah penting karena karya-karya sastra di Indonesia banyak sekali yang menggunakan kajian tersebut. Cerita-cerita pewayangan pada khususnya Ramayana dan Mahabharata telah menjadi teks Hipergram dari kebanyakan naskah Nusantara. Tidak hanya ke dalam sastra tulis saja seperti puisi dan prosa, naskah Ramayana dan Mahabharata pun sudah menjadi hipogram dari beberapa pertunjukan teater dan film. Hal tersebut merupakan salah satu ciri perkembangan sastra modern. Perkembangan sastra modern menunjukan adanya proses saling mencuri atau saling meminjam dari beberapa karya sastra lain,dalam hal ini mungkin yang dipinjam adalah ide, amanat, nilai-nilai, atau alur cerita ( Sapardi Djoko Damono 2005 : 22).
                   Perkembangan sastra modern melalui intertekstual juga berdampingan dengan teori alih wahana. Menurut Sapardi Djoko Damono (2005 : 96)  Alih wahana adalah perubahan dari satu jenis kesenian ke kesenian lain. Karya sastra tidak hanya bisa diterjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain, tapi juga bisa dari satu kesenian ke kesenian lain. 

  2.  Selayang Pandang tentang Film Opera Jawa
                Interpretasi dari sudut pandang masyarakatlah yang menciptakan unsur-unsur intertekstual dan alih wahana tersebut. Seperti pada film “Opera Jawa” karya Garin Nugroho, yang telah menyabet penghargaan dari beberapa festival film dunia seperti Festival film Venesia, Festival Film Internasional London, Festival film Toronto, Festival Film Brussel, dan festival Film Indonesia. Film Ini bercerita tentang 2 pasangan suami istri bernama Setyo dan Siti yang merupakan mantan penari wayang orang Ramayana di desanya, Setyo adalah mantan pemeran Rama, sedangkan Siti merupakan pemeran Shinta dalam wayang orang tersebut. Pasangan suami istri tersebut kemudian menjadi pengusaha gerabah yang sukses didesanya. Namun, rekan penari mereka yang dahulu memerankan Rahwana, Ludiro, diam-diam mencintai Siti sejak lama, dan ia pun berhendak untuk mencuri Siti dari Setyo. Konflik dalam film ini pun bukan hanya itu, Setyo yang merupakan juragan Gerabah mendapat saingan dari kawannya semasa menjadi penari wayang orang yakni Ludiro itu sendiri yang menjadi juragan daging. Dalam cerita ini penggambaran cerita di setting desa tersebut sangat menggambarkan adanya proses intertekstual cerita Ramayana kedalam film Opera Jawa. Walaupun tokoh nya berbeda , namun penokohan dalam Opera Jawa sangat mirip dengan cerita Ramayana. Tokoh Setyo menggambarkan Rama, tokoh Siti menggambarkan tokoh Shinta, sedangkan Ludiro menggambarkan tokoh Rahwana. Jika dibahas lebih lanjut lagi, maka akan didapatkan tokoh Lesmana, Anoman, Sukesi, dll. 

  3.Pembahasan
                Kajian intertekstual dan Alih wahana dalam film Opera Jawa ini mengambil naskah Rama karya R.ng. Kartapradja sebagai teks hipogram dan  Film opera Jawa ini sebagai teks Hipergram dan sebagai alih wahananya. Ada kemiripan dari keduanya, yakni sama-sama berbahasa jawa. Naskah Rama karangan Kartapradja menggunakan bahasa Jawa ejaan lama, sedangkan film opera Jawa menggunakan dialog dengan tembang-tembang jawa.Dalam film Opera Jawa, digambarkan Setyo meninggalkan Siti dan menyuruh Lesmana untuk menjaganya, kepergian Setyo adalah untuk menjual gerabahnya ke luar kota. Hal itu berbeda dengan naskah Rama dari Kartapradja yang menceritakan bahwa kepergian Rama adalah untuk mencari Kijang Kencana yang merupakan peralihan wujud dari Marica, anak buah Rahwana. Dalam film Opera Jawa juga diceritakan Anoman membakar daerah kekuasaan Ludiro, namun proses pembakarannya tidak seperti dalam naskah Rama karangan Kartapradja, Anoman di Opera Jawa membakar kekuasaan Ludiro atas perintah dari Setyo yang merupakan tuannya, jika dalam naskah Rama diceritakan bahwa Anoman ditangkap oleh Rahwana dan akan diberi hukuman api, yakni dibakar hidup-hidup, Anoman yang sakti tidak mati oleh api namun malah membakar seluruh alengka dengan api yang seharusnya membunuhnya. Namun ada satu persamaan dari kedua cerita ini, dalam opera Jawa digambarkan bahwa Ludiro mati dalam pertempuran melawan Setyo, dalam Rama karya Kartapradja, Rahwana pun mati ditangan Rama. Hal tersebut berbeda dalam naskah Ramayana lain yang menceritakan bahwa Rahwana tidak bisa mati. Akhir hidup Rahwana adalah di panah dengan panah sakti Rama dan ditindih gunung oleh Anoman. 

  4.  Kesimpulan
Analisis Intertekstual dan Alih Wahana dalam film Opera Jawa tersebut sudah jelas adanya. Film Opera Jawa merupakan hipergram dan naskah Ramayana, yang dalam hal ini diambil dari naskah Rama karya R.ng. Kartapradja merupakan Hipogramnya. Perbedaan dan persamaan  yang sudah dijeaskan diatas sudah menjelaskan bahwa Film Opera jawa terinspirasi atau bersumber dari naskah agung Ramayana. Garin Nugroho sebagai Sutradara film opera jawa ini sendiri mengatakan bahwa cerita opera jawa terinspirasi dari naskah agung Ramayana namun di terapkan dalam kehidupan masyarakat sekarang dengan perlambang-perlambang yang memuat unsur semiotik. Adanya Dekonstruksi cerita dari film ini juga memperkuat kesan kontemporer dalam film ini walaupun plot dan tema ceritanya masih sama . hal tersebutlah yang membuat film ini menarik.
Perkembangan Intertekstual bisa membuat perkembangan yang baik bagi kasusastraan Indonesia bahkan Jawa. Sebab bisa menggabungkan nilai-nilai adiluhung jaman dahulu dan kemodernitas jaman sekarang. Hal tersebut bisa menumbuhkan rasa cinta kita terhadap budaya kita. Hal tersebut sudah ditunjukan oleh film Opera Jawa ini.







Pustaka :
Teeuw,A, Prof.Dr. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta. Pustaka Jaya
Djoko Damono , Sapardi. 2005. Pegangan Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta. Depdiknas Pusat Bahasa
Kartapradja. R.ng.1937. Rama. Batavia. Bale Pustaka
Sunardi DM. 1994. Ramayana. Jakarta. Balai Pustaka
Film Opera Jawa (2005) karya Garin Nugroho


Raditya Mahendra