1.
Pendahuluan
Sastra
merupakan salah satu cabang seni, dan seni merupakan salah satu unsur dari
kebudayaan. Budaya adalah hasil cipta rasa dan karsa manusia sebagai pelaku
budaya. Budaya adalah hal yang dinamis, bergerak sesuai tempatnya berpijak.
Sama halnya dengan sastra, sastra berkembang sesuai dengan masyarakat yang
berkembang. Masyarakat sudah banyak menghasilkan karya sastra, masyarakat juga
telah banyak membaca dan menikmati berbagai karya sastra dari berbagai bentuk.
Atas dasar hal tersebut, kajian Intertekstual adalah salah satu teori yang bisa
menjembatani perkembangan sastra modern
saat ini dengan naskah-naskah lama yang ada.
Kajian
Intertekstual awalnya dikembangkan oleh peneliti Perancis , Julia Kristeva, walaupun
pada dasarnya prinsip ini telah diketahui pula oleh para formalis. Prinsip ini
berarti bahwa setiap teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang
teks-teks lain ( Teeuw 1984 : 145). Hal tersebut benar adanya karena tidak ada
teks yang mandiri berdiri sendiri, suatu teks pasti mendapat ilham atau ide-ide
dari teks lain yang sudah ada sebelum teks tersebut, sehingga pengembangan dari
teks tersebut yang menyebabkan adanya kajian Intertekstual. Teeuw (1984 : 146) mengatakan
bahwa konsep intertekstualitas memainkan peranan yang sangat penting dalam semiotik
sastra, tidak hanya dalam usaha untuk sekadar member interpretasi tertentu
terhadap karya sastra yang konkrit saja.
Dalam
hal ini, kajian intertekstual di Indonesia sangatlah penting karena karya-karya
sastra di Indonesia banyak sekali yang menggunakan kajian tersebut.
Cerita-cerita pewayangan pada khususnya Ramayana dan Mahabharata telah menjadi
teks Hipergram dari kebanyakan naskah Nusantara. Tidak hanya ke dalam sastra
tulis saja seperti puisi dan prosa, naskah Ramayana dan Mahabharata pun sudah
menjadi hipogram dari beberapa pertunjukan teater dan film. Hal tersebut
merupakan salah satu ciri perkembangan sastra modern. Perkembangan sastra
modern menunjukan adanya proses saling mencuri atau saling meminjam dari
beberapa karya sastra lain,dalam hal ini mungkin yang dipinjam adalah ide,
amanat, nilai-nilai, atau alur cerita ( Sapardi Djoko Damono 2005 : 22).
Perkembangan
sastra modern melalui intertekstual juga berdampingan dengan teori alih wahana.
Menurut Sapardi Djoko Damono (2005 : 96)
Alih wahana adalah perubahan dari satu jenis kesenian ke kesenian lain.
Karya sastra tidak hanya bisa diterjemahkan dari satu bahasa ke bahasa lain,
tapi juga bisa dari satu kesenian ke kesenian lain.
2. Selayang Pandang tentang Film Opera Jawa
Interpretasi
dari sudut pandang masyarakatlah yang menciptakan unsur-unsur intertekstual dan
alih wahana tersebut. Seperti pada film “Opera Jawa” karya Garin Nugroho, yang
telah menyabet penghargaan dari beberapa festival film dunia seperti Festival
film Venesia, Festival Film Internasional London, Festival film Toronto,
Festival Film Brussel, dan festival Film Indonesia. Film Ini bercerita tentang
2 pasangan suami istri bernama Setyo dan Siti yang merupakan mantan penari
wayang orang Ramayana di desanya, Setyo adalah mantan pemeran Rama, sedangkan
Siti merupakan pemeran Shinta dalam wayang orang tersebut. Pasangan suami istri
tersebut kemudian menjadi pengusaha gerabah yang sukses didesanya. Namun, rekan
penari mereka yang dahulu memerankan Rahwana, Ludiro, diam-diam mencintai Siti
sejak lama, dan ia pun berhendak untuk mencuri Siti dari Setyo. Konflik dalam
film ini pun bukan hanya itu, Setyo yang merupakan juragan Gerabah mendapat
saingan dari kawannya semasa menjadi penari wayang orang yakni Ludiro itu
sendiri yang menjadi juragan daging. Dalam cerita ini penggambaran cerita di
setting desa tersebut sangat menggambarkan adanya proses intertekstual cerita
Ramayana kedalam film Opera Jawa. Walaupun
tokoh nya berbeda , namun penokohan dalam Opera Jawa sangat mirip dengan cerita
Ramayana. Tokoh Setyo menggambarkan Rama, tokoh Siti menggambarkan tokoh
Shinta, sedangkan Ludiro menggambarkan tokoh Rahwana. Jika dibahas lebih lanjut
lagi, maka akan didapatkan tokoh Lesmana, Anoman, Sukesi, dll.
3.Pembahasan
Kajian
intertekstual dan Alih wahana dalam film Opera Jawa ini mengambil naskah Rama
karya R.ng. Kartapradja sebagai teks hipogram dan Film opera Jawa ini sebagai teks Hipergram
dan sebagai alih wahananya. Ada kemiripan dari keduanya, yakni sama-sama
berbahasa jawa. Naskah Rama karangan Kartapradja menggunakan bahasa Jawa ejaan
lama, sedangkan film opera Jawa menggunakan dialog dengan tembang-tembang jawa.Dalam
film Opera Jawa, digambarkan Setyo meninggalkan Siti dan menyuruh Lesmana untuk
menjaganya, kepergian Setyo adalah untuk menjual gerabahnya ke luar kota. Hal
itu berbeda dengan naskah Rama dari Kartapradja yang menceritakan bahwa
kepergian Rama adalah untuk mencari Kijang Kencana yang merupakan peralihan
wujud dari Marica, anak buah Rahwana. Dalam
film Opera Jawa juga diceritakan Anoman membakar daerah kekuasaan Ludiro, namun
proses pembakarannya tidak seperti dalam naskah Rama karangan Kartapradja,
Anoman di Opera Jawa membakar kekuasaan Ludiro atas perintah dari Setyo yang
merupakan tuannya, jika dalam naskah Rama diceritakan bahwa Anoman ditangkap
oleh Rahwana dan akan diberi hukuman api, yakni dibakar hidup-hidup, Anoman
yang sakti tidak mati oleh api namun malah membakar seluruh alengka dengan api
yang seharusnya membunuhnya. Namun
ada satu persamaan dari kedua cerita ini, dalam opera Jawa digambarkan bahwa
Ludiro mati dalam pertempuran melawan Setyo, dalam Rama karya Kartapradja,
Rahwana pun mati ditangan Rama. Hal tersebut berbeda dalam naskah Ramayana lain
yang menceritakan bahwa Rahwana tidak bisa mati. Akhir hidup Rahwana adalah di
panah dengan panah sakti Rama dan ditindih gunung oleh Anoman.
4. Kesimpulan
Analisis
Intertekstual dan Alih Wahana dalam film Opera Jawa tersebut sudah jelas
adanya. Film Opera Jawa merupakan hipergram dan naskah Ramayana, yang dalam hal
ini diambil dari naskah Rama karya R.ng. Kartapradja merupakan Hipogramnya.
Perbedaan dan persamaan yang sudah
dijeaskan diatas sudah menjelaskan bahwa Film Opera jawa terinspirasi atau
bersumber dari naskah agung Ramayana. Garin Nugroho sebagai Sutradara film
opera jawa ini sendiri mengatakan bahwa cerita opera jawa terinspirasi dari
naskah agung Ramayana namun di terapkan dalam kehidupan masyarakat sekarang
dengan perlambang-perlambang yang memuat unsur semiotik. Adanya Dekonstruksi
cerita dari film ini juga memperkuat kesan kontemporer dalam film ini walaupun
plot dan tema ceritanya masih sama . hal tersebutlah yang membuat film ini
menarik.
Perkembangan
Intertekstual bisa membuat perkembangan yang baik bagi kasusastraan Indonesia
bahkan Jawa. Sebab bisa menggabungkan nilai-nilai adiluhung jaman dahulu dan kemodernitas jaman sekarang. Hal tersebut bisa menumbuhkan rasa cinta kita
terhadap budaya kita. Hal tersebut sudah ditunjukan oleh film Opera Jawa ini.
Pustaka :
Teeuw,A,
Prof.Dr. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra.
Jakarta. Pustaka Jaya
Djoko
Damono , Sapardi. 2005. Pegangan
Penelitian Sastra Bandingan. Jakarta. Depdiknas Pusat Bahasa
Kartapradja.
R.ng.1937. Rama. Batavia. Bale
Pustaka
Sunardi
DM. 1994. Ramayana. Jakarta. Balai
Pustaka
Film
Opera Jawa (2005) karya Garin Nugroho
Raditya Mahendra
makasih ya... so useful
BalasHapus