Dewa! Bencikah
kau padaku? Akulah Duryudhana Raja Astina! Tapi aku Raja tanpa Mahkota. Raja
tanpa kehormatan. Ironi memang. Lihatlah dewa! Para Pandhawa, sepupuku sendiri,
mereka tak bertahta namun bermahkota. Oh Dewa, Pandhawa anak-anakmu,
Yudhistira, anak Dewa Dharma. Arjuna anak Dewa Indra. Bima putra Dewa Bayu.
Dewa Aswan-Aswin berketurunan Nakula dan Sadewa. Semuanya adalah anak-anakmu
dewa!
Sedangkan aku?
Apa aku keturunan Dewa? Tidak! Aku hanya keturunan ayah yang buta dan ibu yang
terpaksa mengawini ayahku. Memang sudah semestinya para Dewa itu membela
anak-anaknya. Tidak ada salahnya. Lantas apa salahku berjalan pada pendirianku?
Aku melakukan apa yang seharusnya ku lakukan. Apa salahnya berbuat dharma
sesuai porsiku?
Aku anak pertama
dari Destarata, anak pertama kakekku Abiyasa. Ayahku lah sang Penerus kerajaan
Astina dan tahta itu akan berkelanjutan padaku, Duryudhana, putra mahkota
Astinapura. Tapi apa yang tersurat, ayahku terlahir buta, dan tahtanya
diberikan pada adiknya Pandu, ayah dari para Pandhawa. Ohh Dewa, mengapa kau
begitu membenciku? Apa aku tak boleh secuilpun mendapat kehormatan yang
seharusnya sudah melekat dalam tulangku dan mengalir dalam darahku.
Memang saat ini
tahta itu ada padaku, tapi semesta ini bukan milikku, ia tak mendukungku.
Semesta menginginkan Pandhawa bertahta, oh Dewata, dosa apa yang kulakukan
sehingga semua terjadi sehingga apapun yang kulakukan merupakan kesalahan
terbesar dan contoh buruk bagi umat manusia. Senista itukah hidupku, orang-orang
yang ku percaya pun lebih menggadaikan harapannya pada Pandhawa. Kakek Bhisma
pun saat ajal menjemputnya, lebih memilih disentuh oleh panah Arjuna daripada
oleh tanganku, sebegitu nistakah aku sehingga Panah arjuna lebih mulia daripada
tanganku. Durna yang hidup dalam lindunganku pun lebih menyayangi Bima daripada
aku. Ayahku yang sangat menyayangi akupun berkedok mempercayai aku, namun
hatinya masih berbekas Pandhawa, oh Sang Hyang Wenang.. apa salahku?
Hidupku dipenuhi
iri. Hidupku dipenuhi dengki, ya! Apa itu salah? Salahkah aku mempertahankan
tanah Astina agar bisa ku bagi dengan 99 adik ku, cukupkah Astina untuk dibagi
rata dengan 100 kurawa. Entah angin apa yang memengaruhi saudara ku Pandhawa
yang meminta Astina untuk dibagi 5 orang, sedangkan aku sedang
mempertahankannya untuk kubagi rata dengan ke -99 saudaraku. Adil kah aku jika
merelakan Astina untuk Pandhawa, sementara ke-99 adikku hidup tanpa lindungan
dan tanpa sepetak tanahpun yang seharusnya menjadi hak mereka? Usahaku
mempertahankan Astina tak semata oleh keegoisanku akan tahta, dan bukan semata
kelaparanku akan mahkota, tapi semata-mata hanya untuk kemuliaan saudara
sedarahku.
Angin itu begitu
riuh menghancurkan kehormatanku, menerbang impianku, dan melebur segala asaku.
Dadaku sesak, rambutku rontok, darahku merah, darahku panas. Hatiku? Ah apa
mereka kira aku punya hati? Apa mereka tahu bahwa hatiku ini seperti hati
mereka juga yang menginginkan tahta ini? Yang mereka tahu hanyalah batu mengisi
tiap sisi hatiku ini.
Dan perang pun tak
terelakkan. Apakah aku mau berhadapan dengan sepupuku sendiri para Pandhawa?
Tidak! Sungguh tidak. Aku berperang atas nama kehormatan ku sebagai raja dan
ksatria Astina. Aku berperang dari kemunafikan Pandhawa. Aku berperang dari
ketidakadilan Dewa padaku, aku berperang dari hatiku. Salahkah aku mengikuti
kata hatiku?
Dingin, memang
dingin tanah kuru, angin berhembus membawa bau anyir darah dan amis dari
potongan telinga yang tergeletak diujung anak panah yang begitu perkasa
menancap pada sebuah batang pohon. Oh Dewa, mengapa kau tuliskan kata perang dalam suratan takdirku. Apa kata
damai tidak bisa menggantikan
segalanya?
Perang memang
perkasa, perang menghanguskan segalanya, ia menghanguskan cinta, melibas
harapan, membakar nurani. Padang Kuru menyaksikan keperkasaannya, ksatria agung
gugur di hamparannya, apa semua ini salahku? Apakah Pandhawa begitu suci
sehingga tak memiliki noda akan perang ini?
Ya, akulah noda
itu, akulah api yang membakar nurani ku sendiri, akulah kegelapan dari semua
cahaya, dan semua itu memang persis yang dituliskan Dewa akan takdirku. Busuk!
Mungkin itulah kata pertama ketika tiap orang tua menceritakan dongeng
Bharatayudha pada anaknya jika ia sedang menceritakan kisahku pada anak-anak
mereka. Antagonis! Mungkin itu kata pertama yang muncul saat para sastrawan
membaca akan kisahku. Ya! Akulah
antagonis itu yang membuat para Pandhawa menjadi protagonis. Kejahatan ada agar
kebaikan selalu bertaring dalam kehidupan ini, dan aku salah satu yang
berhadapan dengan keganasan taringmu!
Dan kini aku
telah mati, Bima, saudaraku lah yang menyempurnakan kehidupanku dengan kematian
ini. Aku mati, tapi namaku belum mati, namaku masih terstempel cap contoh buruk
sifat manusia. Biarlah, Pandhawa memang agung, Kejahatanku melambungkan
kebaikan Pandhawa, ya, mungkin itulah kebaikanku, memuliakan saudaraku. Oh
Dewa! Habis sudah aku, Neraka sudah menjemputku, aku relakan Surga ku untuk
saudaraku para Pandhawa. Api neraka lebih cocok membakar hatiku yang sudah
terlanjur jadi abu saat aku masih di bumi. Biarlah semua orang tak
menginginkanku dan bersorak-sorai atas kematianku. Tapi aku yakin, seseorang
akan membaca kisahku, dan akan menuliskan kisahku, ya! Kisahku! Kisah rinduku
akan keadilan, kisah rinduku akan kehormatan, aku yakin itu! Suatu saat nanti,
karena suatu saat nanti akan ada yang menerangi sisi gelap ini
***
Aku tersenyum,
ku tutup tulisanku, tak ku bubuhkan tulisan the
end dalam tulisan ini, dalam kalimat terakhirpun tak kububuhkan tanda titik
, aku tekan tombol ctrl+s dan ku beri
judul file ini dengan “tahta tanpa
mahkota”, kemudian aku shutdown laptopku. Ku ambil sebatang
rokok, kunyalakan rokok itu, aku menghisapnya dalam-dalam lalu ku hembuskan
bersama dengan angin yang menelusup dari ventilasi
kamarku, nikmat, dan akupun masih tersenyum.
Raditya Mahendra
nice job min. :)
BalasHapus