Sabtu, 28 Juli 2012

NĀYIKĀ DARI ARGAPURA: Alaṃkāraśāstra dalam Teks Kěṭoprak Lampahan Rěngganis


A. Pengantar

Sosok nāyaka Muhammad Hanafiah dimunculkan dari sastra Islam Asia Tengah, khususnya Arab, yang ditransformasikan dalam bentuk hikayat Islam Melayu tertua di Pasai dalam tahun 80-an pada abad ke-14, yaitu Hikayat Muhammad Hanafiah. Hal demikian juga dijumpai pada dua tokoh nāyaka Islam lain, yakni Iskandar Zulkarnain dan Amir Hamzah, yang naratifnya ditransformasikan ke dalam bentuk hikayat Islam Melayu menjadi Hikayat Iskandar Zulkarnain dan Hikayat Amir Hamzah pada kurun waktu 20-30 tahun setelah Hikayat Muhammad Hanafiah digubah. Ketiga hikayat tersebut oleh Brakel dipahami sebagai “inti sastra hikayat Melayu” (Braginsky 1998: 128; Brakel 1979: 16).
Di antara ketiga hikayat Islam Melayu yang disebutkan di atas, akan dijadikan pusat perhatian pada karya sastra hasil dari transformasi Hikayat Amir Hamzah. Hikayat ini memuat naratif mengenai peran penting Amir Hamzah sebagai nāyaka Kuraisy yang berhasil membantu Nabi Muhammad dalam setiap mengislamkan para pratināyaka-nya di déśa-déśa di luar Mekah-Madinah. Ia menjadi tersohor karena yuddha-yuddha-nya selalu berakhir dengan nāyakâbhyudaya, meskipun pada akhirnya ia gugur pada saat melaksanakan āji dengan raja Lahad (versi Melayu). Dalam hikayat ini dipahami Amir Hamzah sebagai palupi yang tepat, karena dengan rasa bhakti-nya yang luar biasa kepada Nabi Muhammad, ia dapat mengislamkan musuh-musuhnya yang telah ia taklukan dengan vīrarasa yang ia dasari utsaha (Braginsky 1998: 131-133).
Dalam perkembangan lebih lanjut, Hikayat Amir Hamzah ditransformasi dari tradisi sastra Islam Melayu ke dalam tradisi sastra Islam Jawa, di antaranya ialah Sěrat Ménak dan Sěrat Rěngganis yang berbahasa Jawa. Dari kedua sěrat itu, Sěrat Rěngganis menjadi pusat perhatian pada tulisan ini. Sěrat Rěngganis menceritakan mengenai Dèwi Rěngganis dari Pěrtapaan Argapura sebagai nāyikā dan Pangèran Kélan dari Kerajaan Kuparman sebagai upanāyaka dalam naratifnya (lih. Poerbatja-raka 1952: 111-119). Dewasa ini, terdapat sembilan manuskrip Sěrat Rěngganis yang terdaftar dalam katalog naskah Museum Sonobudoyo Yogyakarta, yakni: (1) Sěrat Rěngganis L217a, satu naskah dengan Sěrat Ménak Saréhas sampai Ménak Laré; (2) Sěrat Rěngganis L294, satu naskah dengan Sěrat Baṭara Rama oleh dua penulis yang berbeda; (3) Sěrat Rěngganis L308, tidak merupakan bagian episode Ménak Saréhas dengan Ménak Talsamat; (4) Sěrat Rěngganis L309, alih aksara dari MSB/L308; (5) Sěrat Rěngganis L310, penulisan kembali dari MSB/L308; (6) Sěrat Rěngganis L311, penulisan belum selesai dan teks hampir sama dengan MSB/L308; (7) Sěrat Rěng-ganis L313, cerita sampai pada Dèwi Kadarwati diminta Rěngganis supaya menjadi istri Rěpatmaja; (8) Sěrat Rěngganis L314, penulisan belum selesai dan teks hampir sama dengan lontar E.25 di Museum Nasional; dan (9) Sěrat Rěngganis L315, naskah belum dibuat deskripsi lengkap, tidak dimikrofilm oleh Proyek Mikrofilm Museum Sonobudoyo, karena rontal telah rusak berat (Behrend 1990: 347, 389, 397-400).
Berdasarkan hal di atas, agaknya naratif Sěrat Rěngganis L313-lah yang di-transfigurasi ke dalam bentuk naskah ketoprak berjudul “Rěngganis” gubahan Handung Kusudyarsono. Selanjutnya, naskah kěṭoprak itu dipentaskan oleh Kěṭoprak Mataram “Sapta Manḍala Kodam VII Dipaněgara” dan direkam serta diproduksi dalam bentuk kaset rekaman oleh Bintang Fajar Record. Kaset bernarasikan teks kěṭoprak lampahan Rěngganis tersebut akan menjadi pusat perhatian pada penelitian ini. Kemudian mengenai teori yang akan digunakan dalam penelitian ini, akan diuraikan pada bagian selanjutnya.

B. Kāvyâlaṃkāra

Teks kěṭoprak lampahan Rěngganis ini akan dibahas dengan berdasarkan teori estetika Sansekerta yang disusun oleh Bhāmaha dalam kāvyâlaṃkāra. Itivṛtta ‘alur’ merupakan rangkaian-rangkaian peristiwa dalam kaitannya dengan hubungan sebab-akibat yang ditata dan direlasikan secara artistik dan serasi. Rangkaian naratif ini memunculkan lima avasthā ‘tataran’, yakni: (1) prālambha ‘permulaan’; (2) prayatna ‘upaya’; (3) prāptisambhāva ‘harapan dan keputusasaan’; (4) nyayataphalaprāpti ‘ketidakpastian dan kepastian’; dan (5) phalaprāpti ‘keberhasilan akhir’ (cf NŚ XIX, 7 dalam Widyaseputra 2009: 6). Berkaitan dengan lima avasthā, dijumpai lima saṃdhi, yaitu: (1) mukha ‘benih alur yang bermula dari berbagai macam rasa’; (2) pratimukha ‘bertunasnya benih yang ditampakkan secara parsial’; (3) garbhā ‘perkembangan penuh hingga mencapai titik puncak yang sama di dalam mencapai keinginan’; (4) vimarśa ‘pengkajian terhadap pencapaian keinginan’; dan (5) nirvahana ‘kesimpulan: memadukan semua benang penghubung dan mengantar alur menuju sasaran akhir’ (Widyaseputra 2009: 6; Pande 1993: 14; Hooykaas 1958: 45; cf Vāgbhaṭa dalam Kāvyānuśāsana).
   Selanjutnya dalam rangka mendalami itivṛtta teks Kěṭoprak Lampahan Rěngganis, dimanfaatkan pemikiran Bhāmaha (Kāvyâlaṃkāra I, 19) yang menyata-kan sebagai berikut:

sargabandho mahākāvyaṃ mahataṃ ca mahac ca yat,
śragrāmya śabdam arthyaṃ ca sālaṃkāraṃ sadṛśyam


Untaian sarga-sarga adalah mahākāvya, yang (membicarakan) hal-hal besar,
dan memang agung,
menghindari ketidaksopanan ekspresi, mempunyai makna, memuat gaya-gaya bahasa, dan berbicara tentang kebaikan.
(Sastry 1970: 7).

Berdasarkan śloka Bhāmaha di atas dapat dikatakan bahwa lampahan kěṭoprak : (1) harus memiliki tema yang agung dan ditinggikan; (2) harus memasukkan semua rasa yang kanonik; dan (3) harus mengacu pada caturpuruṣārtha ‘empat tujuan hidup manusia’. Dari pengertian itu dapat ditunjukkan bahwa itivṛttā teks lampahan kěṭoprak secara bersamaan memberi sumbangan kepada makna pada semua tataran: epik-mite-ritual (Widyaseputra 2009: 7; cf Kāvyādarśa I, 14-22; Peterson 1991: 218; Shetterly 1976; Tubb 1979; Smith 1985).
Penelusuran makna lampahan Rěngganis dapat diikuti dari kehadiran nāyaka dan pratināyaka di sepanjang itivṛtta lampahan kěṭoprak, dan penelusuran makna melalui kehadiran kedua karakter itu akan berlandaskan pada Kāvyâlaṃkāra. Dalam hal ini Bhāmaha (Kāvyâlaṃkāra I, 22-23; cf Kāvyādarśa I, 14-19) menjelaskan sebagai berikut:

nāyakaṃ prāg upanyasya vaṃśavīryaśrutādhibhiḥ,
na tasyaiva vadhaṃ brūyād anyotkarṣabhidhitsayā

yai kāvyaśarīrasya na sa vyāpitayeṣyate,
na cābhyudayabhāktasya mudhādau grahaṇaṃ stave.

Setelah mendudukkan nāyaka di tempat pertama dengan memuji leluhur, keberanian, (dan) pengetahuan sucinya,
janganlah berbicara tentang penghancurannya dengan ingin meninggikan sanjungan kepada yang lain.

Apabila ia tidak akan dihadirkan ke dalam batang tubuh kāvya,
dan tidak apat ambil bagian alam kesuksesan, tidak ada gunanya ia diceritakan pada permulaan.
(cf. Sastrulu 1952: 8-10; Sastry 1970: 8-9)

Dari śloka di atas dapat diperoleh pengertian bahwa nāyaka hadir di sepanjang kāvyaśarīra, mulai awal sampai dengan akhir cerita, dan tidak boleh dibunuh (Widyaseputra 2009: 7; Gerow 1971: 29ff; cf. Kuiper 1979: 209-213), di samping itu, akhir dari naratif yang dipaparkan dalam kāvyaśarīra, harus menguntungkan. Seorang nāyaka yang termahsyhur tidak boleh dibinasakan. dengan berlandaskan pada konsep estetika kāvya, sebuah lampahan kěṭoprak sebaiknya memperlihatkan pengertian nāyaka berhasil mencapai kebajikan, kesejahteraan, dan kebahagiaan, meskipun sutradara akan membuat pencampuran antara bahagia dan menderita. Dalam penutupan lampahan kěṭoprak lebih baik selalu dihasilkan pengalaman estetik yang mengagumkan. Bagian penutup itu seharusnya juga berisi pemberian anugerah (kebahagiaan), yang lebih jauh kepada nāyaka, dan pula puji-pujian baginya (Widyaseputra 2009: 8; cf. Warder 1989: 26-27). Sementara itu, pratināyaka adalah tokoh yang berseberangan dengan nāyaka, dan pratināyaka inilah yang menjadi sarana penentu dipuji-pujinya nāyaka pada akhir lampahan kěoprak (lih. Kaset Rěngganis yang diproduksi Fajar Record; Widyaseputra 2009: 8; cf. Warder 1990a: 105-106).
Kehadiran kedua karakter: nāyaka dan pratināyaka tentunya dipaparkan di sepanjang itivṛtta, dan itivṛtta itu dibagi menjadi sejumlah satuan-satuan naratif, yaitu: (1) nagara ‘lukisan tentang kota’; (2) ṛtu ‘lukisan enam  musim’; (3) candro-daya ‘terbitnya bulan’; (4) arkodaya ‘terbitnya matahari’; (5) udyanasalīlakrīḍa ‘bercengkerama di taman atau air’; (6) udyanakrīḍa ‘bercengkerama di taman’; (7) salīlakrīḍa ‘bercengkerama di air’; (8) madhupānaratotsava ‘bersenang-senang dengan minuman dan cinta; (9) vipralambha ‘pedih karena perpisahan’; (10) vivāha ‘perkawinan’; (11) kumārodayavarṇana ‘deskripsi tentang lahirnya dan tampilnya seorang pangeran’; (12) mantra ‘perundingan’; (13) prāyaṇa ‘perjalanan’; (14) āji ‘peperangan’; (15) nāyakābhyudaya ‘puji-pujian bagi sang pahlawan’; (16) ṛddhimat ‘akhir yang membahagiakan’; (17) asaŋkṣipta ‘tidak dipadatkan’; (18) rasa-bhāvanirantara ‘selalu diliputi suasana hati dan emosi puitis’; (19) anativistīrṇaḥ, ‘tidak diperpanjang’ (Widyaseputra 2009: 8; Hooykaas, 1958: 42-44). Satuan-satuan naratif yang membentuk itivṛtta dipandang sangat penting untuk ditunjukkan, karena itivṛtta merupakan kerangka atau struktur dasar yang menjadi ruang berlangsungnya perkembangan rasa; dan seperti yang ditunjukkan oleh Gary Tubb, karya: tujuan utama yang mengarahkan aksi pokok karya itu, dianggap sebagai elemen sentral di dalam analisis itivṛtta. Secara praktis dapat dikatakan bahwa vya adalah arti  menyeluruh, yang menghubungkan bagian-bagian berbeda dari sebuah karya yang utuh (Widyaseputra 2009: 8; Tubb, 1979: 142-150; Peterson, 1991: 217). Esensi rasa digunakan untuk memperkuat makna di dalam struktur-struktur naratif, rasa meliputi: (1) sṛnggara ‘asmara’; (2) hasya ‘komik’; (3) karuṇa ‘belas kasihan’; (4) raudra ‘ganas’; (5) vīra ‘kepahlawanan’; (6) bhayanaka ‘khawatir’; (7) bibhatsa ‘ngeri’; (8) adbhuta ‘takjub’; (9) śānta ‘tenang’; dan (10) bhakti ‘kasih Ilahi’(Widyaseputra 2012 bab III; Hooykaas, 1955; 1958; Supomo, 1977: I; Wiryamartana, 1990).
Usaha Dèwi Rěngganis untuk menjodohkan Pangèran Iman Suwangsa dengan Dèwi Kadarwati didasari oleh nasihat ayahnya, Běgawan Manikmaya, yang menuturkan bahwa Pangèran Iman Suwangsa bukanlah jodohnya. Dengan berdasakan rasa karuṇa yang ia miliki, Dèwi Rěngganis ikhlas melepaskan dan memberikan Pangèran Iman Suwangsa kepada Dèwi Kadarwati. Perkembangan rasa yang paling pokok dalam teks kěṭoprak lampahan Rěngganis yang ditandai dengan memuncaknya perseteruan antara Dèwi Rěngganis dan Rěsi Masuji, yang pada saat itu sedang adanya pertempuran hebat di Kuparman, sebaiknya dicermati dalam konteks tujuan heroik yang menjadi arah dari gerak utama teks kěṭoprak lampahan Rěngganis.

C. Strukur Naratif Teks Kĕṭoprak Lampahan Rěngganis

Secara umum, didapati genre vīracarita pada Hikayat Amir Hamzah selaku prototipe, Sěrat Rěngganis, dan naskah kěṭoprak lampahan Rěngganis sebagai transformasinya. Bila dicermati secara etimologis, vīracarita terdiri dari dua kata bahasa Sansekerta, yakni vīra dan carita. Secara harfiah, vīra memiliki arti ‘pahlawan’, ‘pemimpin’, atau ‘pemenang’ dan seringkali dipergunakan untuk perbincangan tentang sikap-sikap yang heroik (Macdonell 1954: 293), sedangkan kata carita mempunyai arti ‘perilaku’ dan kerapkali dipergunakan untuk perbincangan tentang kebiasaan yang baik, mulia, dan pantas (Macdonell 1954: 92), tetapi apa yang seharusnya dimengerti sebagai etika paling sering dimasukkan ke dalam kategori dharma. Akan tetapi, permasalahannya “bagaimanakah konsep dharma dalam vīracarita itu?”. J.A.B. Van Buitenen telah membuktikan bahwa di sepanjang vīracarita Mahābhārata, dharma sebaiknya diterjemahkan dengan “hukum” dan rupanya dapat dipahami dalam pengertian yang sama dengan pengertian Hukum dalam tradisi Jawa Kuna (Widyaseputra 2009: 1; cf. Jonker 1885; Hoadley and Hooker 1981). Dharma dipahami sebagai pengertian yang mendalam tentang moralitas yang dihayati oleh pribadi yang bijak. Juga dikenali bahwa dharma tidak selalu “dipahatkan pada batu”, tetapi dihayati dan mungkin hanya dapat dipahami dengan kontemplasi yang dalam. Di samping itu, pengertian hukum tampaknya memang mengabaikan aspek deskriptif dari dharma, karena dharma bukan hanya aspek yang sebaiknya dilakukan oleh seorang pribadi, tetapi harus menjadi sifat dasar setiap pribadi (Widyaseputra 2009: 1; Sutton 2000: 293-294). Oleh karena itu untuk memahami konsep dharma dalam naratif teks kĕṭoprak lampahan Rĕngganis yang bergenre vīracarita, diperlukan teori Bhāmaha untuk menguraikan konsep tersebut. Di bawah ini akan diuraikan teks kĕṭoprak lampahan Rĕngganis dengan menggunakan kāvyalaṃkara dari Bhāmaha dengan langkah-langkah: (1) Menyajikan garis besar naratif teks ṭoprak lampahan Rěngganis; (2) Menguraikan nāyaka dan pratināyaka dalam naratif teks ṭoprak lampahan Rěngganis; (3) Menunjukkan sambandha setiap satuan-satuan naratif naratif teks ṭoprak lampahan Rěngganis; dan (4) Menguraikan itivṛtta dalam naratif teks ṭoprak lampahan Rěngganis. Selanjutnya, penguraiannya ditunjukkan sebagai berikut.

C. 1. Garis Besar Naratif Teks Kěṭoprak Lampahan Rěngganis

Dalam rangka menelusuri nilai estetika yang terdapat dalam teks kěṭoprak lampahan Rěngganis, di bawah berikut ini akan disajikan garis besar naratif lampahan itu, yang akan disusun dengan menggunakan sistem itivṛtta yang diikuti oleh Indira V. Peterson untuk memaparkan Kirāṭārjuṇīya karya Bhāravi (Peterson 1991: 218-219). Adapun garis besar naratif teks ṭoprak lampahan Rěngganis itu sebagai berikut:



Garis Besar Naratif Teks Kěṭoprak Rěngganis




Déśa
Itivṛtta
Rasa



Něgara Kuparman
Perbincangan Prabu Jayèngrana dengan Adipati Umarmaya dan Raja Umarmadi tentang keberadaan Běṭara Nurséwan yang tidak ada di Negara Médayin maupun Negara Kuparman  (āsir); Pangèran Iman Suwangsa mendatangi Prabu Jayèngrana, melaporkan bahwa Běṭara Nurséwan dan Patih Běstak berada di Negara Mukadam (mantra); Prabu Jayèngrana mengutus Adipati Umarmaya dan Raja Umarmadi pergi ke Mukadam untuk memastikan laporan Pangèran Iman Suwangsa mengenai keberadaan Běṭara Nurséwan (dūta).

Tujuan: Dharma
Bhayanaka dan Vīra



Taman Banjaransari
Dèwi Rěngganis dengan wujud yang tidak nampak mendatangi Taman Banjaransari (nāyaka); Dèwi Rěngganis bermain-main, memetiki bunga-bunga Taman Banjaransari, dan mengganggu kedua abdi Pangèran Iman Suwangsa (udyana-salila-krida);  Pangèran Iman Suwangsa memarahi kedua abdinya, karena dinilai tidak mampu menjaga Taman Banjaransari sehingga bunga-bunga dipetik oleh orang yang tidak menampakkan wujud aslinya (mantra); Pangèran Iman Suwangsa tidak menjadi marah dan malah jatuh cinta ketika melihat wujud nyata Dèwi Rěngganis (mantra); Pangèran Iman Suwangsa memikat hati Dèwi Rěngganis dan ingin meperistrinya (rasabhāvanirantara); Dèwi Rěngga-nis menolak dan meninggalkan Pangèran Iman Suwangsa (vipralambha); Pangèran Iman Suwang-sa mengejar Dèwi Rěngganis ke Pertapaan Argapura (prāyana).

Tujuan: Dharma
Karuṇa



Pěrtapan Argapura
Nasihat Běgawan Manikmaya kepada Dèwi Rěngganis bahwa Dèwi Rěngganis tidak ditakdirkan berjodoh dengan Pangèran Iman Suwangsa (mantra); Pangèran Iman Suwangsa sampai pada Pěrtapan Argopura, ditemui Běgawan Manikmaya (prāyana); Dèwi Rěngganis berniat menjodohkan Pangèran Iman Suwangsa dengan Dèwi Kadarwati (mantra).

Tujuan: Artha dan Dharma
Bhakti



Kraton Něgara
Mukadam
Patih Běstak bersama Běṭara Nursèwan datang kepada Prabu Mukaji di Něgara Mukadam (prāyana); Atas hasutan Patih Běstak, Prabu Mukaji bersedia untuk: (1) melindungi Běṭara Nurséwan dari Amir Ambyah; (2) menyerang Něgara Kuparman; dan (3) menjodohkan Pangèran Hérman dengan Dèwi Kadarwati (mantra); Rěsi Majusi meramalkan bahwa Něgara Mukadam akan didatangi seorang maling yang akan menculik Běṭara Nurséwan (mantra); Prabu Mukaji, Rěsi Majusi, dan para pembesar Mukadam membuat perangkap untuk menangkap maling yang telah diramalkan itu (mantra).

Tujuan : Artha
Raudra



Něgara Mukadam
Adipati Umarmaya dan Raja Umarmadi memikirkan cara untuk memastikan keberadaan  Běṭara Nurséwan di Mukadam dari luar benteng Mukadam (mantra); Raja Umarmadi gagal menahan Adipati Umarmaya supaya tidak memanjat benteng Mukadam (mantra); Adipati Umarmaya berhasil ditangkap dan diceburkan ke Sumur Upas oleh Resi Masuji dan Prabu Mukaji (āji); Raja Umarmadi sedih dengan nasib buruk yang menimpa Adipati Umarmaya sehingga ia kembali ke Kuparman untuk melaporkan peristiwa tersebut (prāyana).

Tujuan : Artha
Raudra dan Karuṇa



Taman Mukadam
Dèwi Kadarwati yang ditemani Ěmban, sedang bercengkerama di Taman Mukadam (udyāna-kriḍa); Dèwi Rěngganis dan Ěmban menghibur Dèwi Kadarwati yang sedang bersedih hati karena akan dijodohkan dengan Pangèran Hèrman (mantra); Pangèran Iman Suwangsa muncul dan mengaku sebagai wujud samaran Dèwi Rěngganis hingga Dèwi Kadarwati terhibur dan menyukai Pangèran Iman Suwangsa (mantra); Atas prakarsa Dèwi Rěngganis, Dčwi Kadarwati mau diperistri Pangčran Iman Suwangsa (mantra); Ěmban memberitahu Pangèran Iman Suwangsa bahwa Adipati Umarmaya dikurung di Sumur Upas dan akan dihukum mati oleh Prabu Mukaji (mantra); Dèwi Rěngganis, Pangèran Iman Suwangsa, Dèwi Kadarwati, dan Ěmban pergi ke Sumur Upas untuk menyelamatkan Adipati Umarmaya (prāyana).

Tujuan : Dharma
Karuṇa dan Śṛṅgara





Sumur Upas
Dèwi Rěngganis mengeluarkan kesaktiannya untuk menyingkirkan batu besar yang menutupi Sumur Upas (āji); Dèwi Rěngganis, Pangèran Iman Suwangsa, dan Dèwi Kadarwati membantu Adipati Umarmaya keluar dari Sumur Upas, mereka lalu pulang menuju ke Kuparman (prāyana); Prabu Mukaji beserta para prajurit Mukadam mengejar mereka (prāyana).

Tujuan: Kāma

Vīra dan Raudra



 

Něgara Kuparman
Yuddha Dèwi Rěngganis dan Rěsi Majusi, Rěsi Majusi gugur (nāyakâbhyudaya); yuddha Prabu Mukaji melawan Prabu Jayěngrana, Prabu Mukaji gugur (āji); prajurit-prajurit Mukadam yang kalah melarikan diri (asaṅkṣipta).

Tujuan: Artha dan Dharma

Vīra


Selanjutnya akan diuraikan nāyikā-pratināyaka, sambandha, dan itivṛtta pada C. 2. berdasarkan garis besar struktur naratif teks ṭoprak lampahan Rěngganis yang telah disajikan di atas.

C. 2. Nāyikā dan Pratināyaka

Dari titik pandang varṇa, Dèwi Rěngganis dalam naratif teks ṭoprak lampahan Rěngganis didudukkan sebagai nāyikā, sedangkan Rěsi Majusi sebagai pratināyaka. Keduanya memiliki kedudukan yang sama, yakni brāhmaṇa, karena keduanya terkait dengan masalah religi dan teologi. Di dalam kanon Mokṣadharma dinyatakan bahwa seorang brāhmaṇa sebaiknya melaksanakan ritual-ritual dan melaksanakan yajña. Ia mempelajari pustaka suci dan mengajarkannya. Sementara itu, di dalam ajaran Rājadharma dinyatakan bahwa kṣatriya sebaiknya memberi tanpa menerima dāna, melaksanakan yajña meskipun bukan sebagai brāhmaṇa, selalu melindungi rakyatnya, aktif dalam menumpas kejahatan, dan memperlihatkan kepahlawanannya di raṇānggana (Widyaseputra 2009: 24). Karakter brāhmaṇa dan kṣatriya dapat dijumpai pada nāyikā naratif teks Kĕṭoprak Lampahan Rěngganis, yang tidak lain adalah Dèwi Rěngganis, sehingga Dèwi Rěngganis disebut juga kṣatriya-saṃnyāsin.
Dalam hal ini, baik Dèwi Rěngganis maupun Rěsi Masuji memang pantas dan layak dikategorikan sebagai brāhmaṇa, kendatipun Dèwi Rěngganis memiliki kedudukan yang lebih istimewa daripada Rěsi Masuji, yakni sebagai kṣatriya-saṃnyāsin. Adapun alasannya dapat dijumpai pada itivṛtta ke-2, ke-3 dan ke-4 dari garis besar naratif teks Kĕṭoprak Lampahan Rěngganis yang telah disajikan. Disebutkan pada itivṛtta kedua bahwa Dèwi Rěngganis melakukan dharma-nya sebagai seorang brāhmaṇā putri dengan menolak untuk diperistri Pangèran Iman Suwangsa yang berkedudukan sebagai seorang kṣatriya. Selanjutnya, posisinya sebagai brāhmaṇā dipertegas pada itivṛtta ketiga lewat nasihat ayahnya, yakni Běgawan Manikmaya, yang menuturkan bahwa Dèwi Rěngganis tidak ditakdirkan berjodoh dengan Pangèran Iman Suwangsa, meskipun kedua insan itu sama-sama telah terimpresi oleh karuṇarasa. Pada akhirnya, Dèwi Rengganis dapat menerima kenyataan bahwa secara hakiki Pangèran Iman Suwangsa bukanlah pasangan hidupnya. Akan tetapi, hal yang berlainan dialami Pangèran Iman Suwangsa, yang terlanjur gandrung kapilawung dengan Dèwi Rěngganis, tidak mampu menerima kenyataan bahwa Dèwi Rěngganis bukanlah jodohnya. Melihat keadaan Pangèran Iman Suwangsa demikian, dengan karuṇarasa-nya, sang nāyikā akhirnya mengajak Pangèran Iman Suwangsa untuk diperkenalkan dengan saudari angkatnya, yakni Dèwi Kadarwati, putri mahkota Prabu Mukaji dari Něgara Mukadam, dengan maksud ingin menjodohkan mereka berdua. Sementara itu, karakter brāhmaṇa ditunjukkan Rěsi Majusi pada itivṛtta ke-4, yang menarasikan perbincangan antara Prabu Mukaji beserta para anteknya dengan Patih Běstak dan Bětara Nurséwan di nagara Mukadam. Lalu kemunculan Rěsi Masuji secara tiba-tiba pada perbincangan itu membuat orang-orang seisi istana Mukadam menjadi gaduh, karena pihak pratināyaka lewat kemampuan dīvyacakṣus-nya, meramalkan bahwa Něgara Mukadam akan kedatangan maling yang akan menculik Běṭara Nurséwan, sehingga Rěsi Masuji dan Prabu Mukaji beserta para anteknya mempersiapkan jebakan untuk maling yang akan mendatangi Mukadam itu.
Berdasarkan hal di atas, dapat dipahami bahwa baik pihak nāyikā dan pihak pratināyaka dapat dikategorikan sebagai brāhmaṇa melalui keistimewaan yang ditunjukkan pada itivṛtta teks kĕṭoprak lampahan tersebut. Adapun posisi istimewa yang dimiliki Dèwi Rěngganis sebagai kṣatriya-saṃnyāsin, mempunyai keterikatan dengan kedudukannya sebagai nāyikā. Dalam memenuhi sikap-sikap heroiknya, Dèwi Rěngganis yang seorang brāhmaṇa sengaja mendudukkan diri sebagai seorang kṣatriya demi menegakkan konsep dharma yang dikontemplasikan sebagai “hukum” dalam naratif teks kěṭoprak lampahan Rěngganis bergenre vīracarita. Hal ini ditunjukkan dalam itivṛtta ke-8 dan ke-9. Dèwi Rěngganis diceritakan berhasil membebaskan dan melarikan Adipati Umarmaya dari Sumur Upas ke Kuparman, yang dengan kesaktiannya dapat membelah dan menyingkirkan batu besar yang menutupi sumur beracun itu. Tindakannya telah memancing Rěsi Masuji dan Prabu Mukaji seanteknya menyerang Kuparman, tetapi Dèwi Rěngganis yang dalam hal ini selaku nāyikā dapat membunuh Rěsi Masuji selaku pratināyaka melalui yuddha. Dalam hal ini, Dèwi Rěngganis sebagai seorang brāhmaṇā telah mengamalkan ajaran Rājadharma untuk kṣatriya, yang menyatakan bahwa dharma tertinggi kṣatriya adalah melukai kṣatriya yang lain, sehingga bukan perbuatan terpuji, ketika ia menghancurkan penjahat yang hina dan rendah (Widyaseputra 2009: 25; Sutton 2000: 299). Dipertegas pula dalam naratif, bahwa Dèwi Rěngganis telah melaksanakan svadharma seorang kṣatriya, yakni yuddha, adalah perbuatan yang berkaitan dengan kekerasan.

C. 3. Sambandha

Berdasarkan kamus Jawa Kuna-Indonesia Zoetmulder, secara harafiah kata sambandha mempunyai arti sebagai berikut :

Skt hubungan, pertalian, hubungan kepada: hubungan pribadi, kekerabatan, persahabatan; kerabat, sanak saudara, teman.
Jk hubungan, pertalian, sebab, alasan, peristiwa.
(Zoetmulder 2006: 1000).

Dalam konteks penghayatan estetika teks kĕṭoprak lampahan Rĕngganis, Běṭara Nurséwan dapat didudukkan sebagai sambandha, karena di samping menjadi penyebab munculnya pelbagai peristiwa di dalam naratif, Běṭara Nurséwan juga menjadi “penghubung” bertemunya pihak nāyikā dan pihak pratināyaka dalam yuddha. Perlu dipahami identitas Běṭara Nurséwan dalam kĕṭoprak lampahan Rĕngganis yang menjadi sangat krusial dalam memunculkan peristiwa-peristiwa yang membentuk tatanan itivṛtta dengan rapi. Pada itivṛtta pertama, ditunjukkan kekhawatiran Prabu Jayèngrana terhadap Běṭara Nurséwan yang pergi meninggalkan Kuparman tanpa seizin dan sepengetahuannya. Kekhawatirannya terhadap Běṭara Nurséwan dilatarbelakangi hubungan antara keduanya yang sangat dekat, yang kedekatannya itu ditunjukkan dalam kutipan dialog (mp3 1, 10’29”-11’05”) berikut.

Prabu Jayèngrana
:
“Kakang Umarmadi lan Kakang Umarmaya, dudu kuwi kang tak kěrsakaké, aku munḍut atur wawasanmu, apa sěbabé Rama Prabu Běṭara Nurséwan ora kěrsa lěnggah ana ing Mědayin utawa nḍèrèk aku ana ing Kuparman kéné?. Aku iki rak putra mantuné ta, tinimbang ngulan-dara, ngěmpèk-ěmpèk ana ing liya praja, ana ing liya něgara, lak malah ora prayoga, lak luwih prayoga upama kěrsa lěnggah sěkéca néng Něgara Kuparman kéné ta!”



Raja Umarmadi
:
“Unjuk atur Tiyang Agung!”

Berdasarkan cuplikan singkat dialog antara Prabu Jayèngrana dan Raja Umarmadi, dapat dimengerti bahwa kedudukan Prabu Jayèngrana ialah sebagai menantu Běṭara Nurséwan. Dalam hal ini, kepergian Běṭara Nurséwan dari Médayin menimbulkan kekhawatiran putra menantu. Kepergiannya yang ternyata ke Mukadam atas hasutan Patih Běstak, memunculkan afair-afair dalam itivṛtta naratif teks kěṭoprak lampahan Rěngganis, yang antara lain: (1) Berangkatnya Adipati Umarmaya dan Raja Umarmadi ke Mukadam dalam rangka memastikan laporan Pangèran Iman Suwangsa mengenai keberadaan Běṭara Nurséwan dan Patih Běstak di Mukadam; (2) Keputusan yang ditetapkan Prabu Mukaji untuk segera menyerang Kuparman dan  menjodohkan Pangèran Hérman dengan Dèwi Kadarwati, putrinya, dengan dilandasi keinginan untuk melindungi dan menjalin hubungan yang lebih baik dengan Běṭara Nurséwan; (3) Tertangkapnya Adipati Umarmaya oleh Rěsi Majusi dan Prabu Mukaji, yang kemudian diceburkanlah ia ke dalam Sumur Upas; (4) Yuddha antara Déwi Rěngganis dan Rěsi Majusi serta yuddha antara Prabu Jayèngrana dan Prabu Mukaji. Oleh karena itu itivṛtta naratif teks kěṭoprak lampahan Rěngganis banyak menghadirkan satuan naratif mantra, yang kemunculan setiap peristiwa didasarkan atas perundingan untuk mengatur perilaku para tokoh yang kemudian menciptakan kejadian-kejadian beruntun yang akan mempertemukan tiap-tiap tokoh di dalamnya.
            Berdasarkan hal itu, peran sambandha dalam naratif teks kěṭoprak lampahan Rěngganis menjadi lebih esensial, yakni dalam mempertemukan nāyikā dan pratināyaka. Dalam hal ini, bertemunya Dèwi Rěngganis dengan Rěsi Majusi bukanlah suatu hal yang kebetulan, melainkan merupakan nāyakâbhyudaya yang patut dihadirkan dalam setiap naratif bergenre vīracarita. Dengan kata lain, sambandha berperan membentuk satuan naratif nāyakâbhyudaya melalui yuddha antara nāyikā dan pratināyaka. Dalam konteks naratif teks Kěṭoprak Lampahan Rěngganis, pertemuan Dèwi Rěngganis dengan Rěsi Majusi melalui yuddha, dilatarbelakangi peristiwa mengungsinya Běṭara Nurséwan di Mukadam, yang pada akhirnya berakibat pada tertangkapnya Adipati Umarmaya oleh Rěsi Majusi, yang kemudian pembebasannya oleh Dèwi Rěngganis menyebabkan Rěsi Majusi mengejarnya, lalu tewas akibat yuddha dengannya.

C. 4. Itivṛtta

Berdasarkan garis besar struktur naratif teks ṭoprak lampahan Rěngganis yang telah disajikan pada C.1., dapat dilihat bahwa itivṛtta lampahan itu dengan rapi dan tertata memuat banyak satuan naratif mantra, yang disajikan hampir di setiap itivṛtta-nya. Itivṛtta itu menyiratkan makna, yang dilengkapi dengan materi-materi yang diperlukan oleh lampahan kĕṭoprak. Dipandang dari segi rasa, perkembangan vīrarasa dalam teks keṭoprak lampahan Rěngganis menunjukkan bahwa Handung Kusudyarsono, dengan sangat berhasil, menempatkan materimateri yang digunakan untuk membantu rasa yang utama, yakni vīrarasa (Widyaseputra 2009: 19; cf. Peterson 1991:219; Amaladass 1984; Masson 1972; Tubb 1978).
 Kĕṭoprak lampahan Rĕngganis membangkitkan vīrarasa sebagai tema sentralnya, dan tema itu dibangkitkan melalui kehadiran Dèwi Rĕngganis sebagai nāyikā. Hal itu berarti Dèwi Rĕngganis hadir hampir di sepanjang itivṛtta teks kĕṭoprak lampahan Rĕngganis, mulai sejak awal itivṛtta, yaitu sejak tibanya Dèwi Rĕngganis di Taman Banjaransari milik Pangèran Iman Suwangsa sampai yuddha­-nya dengan Rěsi Majusi. Rasa yang dibangkitkan pada naratif bagian déśa Taman Banjaransari, adalah Karuṇarasa ‘kasih sayang’, yang melandasi Dèwi Rěngganis menghadirkan vīrarasa ‘kepahlawanan’ di setiap itivṛtta naratif teks kĕṭoprak lampahan Rĕngganis. Pada episode yang sama dijelaskan pula bahwa Dèwi Rěngganis memilih dharma sebagai tujuan hidup yang paling sesuai baginya di dalam lingkungan dan tataran hidupnya, dan ditandai ketika ia menolak pinangan Pangèran Iman Suwangsa karena tahu bahwa sang pangeran bukan jodohnya, meski ia pun mengasihinya, hingga akhirnya ia rela memberikan pria yang ia kasihi itu kepada saudari angkatnya, yakni Dèwi Kadarwati. Pencobaan-pencobaan yang ia hadapi merupakan landasan bagi dharma-nya sebagai kṣatriya-saṃnyāsin, dan landasan itu merupakan sarana yang mengantarkan Prabu Jayèngrana mencapai keberhasilan dalam mengalahkan Prabu Mukaji. Ketahanan Dèwi Rěngganis dengan dharma sebagai seorang nāyikā dalam konteks skema caturpuruṣārtha, semakin mempertegas landasan moral vīrarasa. Di dalam semangat Dèwi Rěngganis yang ulet, tekun, dan aktivitasnya menghadapi segala macam tantangan dan godaan, sekiranya dicermati utsāha-nya (energi, usaha yang keras untuk mencapai tujuan): sthāyibhāva yang secara kanonik dijadikan dasar vīrarasa (Widyaseputra 2009: 20; cf. Peterson 1991: 220; Tubb 1991: 171-203; Masson and Patwardhan 1969; Gerow and Aklujkar 1972: 80-87; Raghavan 1967; Pandey 1944: 326-330; Smith 1985).

D. Simpulan

Lampahan Rěngganis, yang terdapat dalam tradisi kěṭoprak Yogyakarta, ternyata mengandung banyak pesan, yang berupa nilai-nilai. Penelusuran naratif teks Kěṭoprak Lampahan Rěngganis itu dengan menggunakan teori estetika kāvya Sansekerta, yakni teori Alaṃkāra yang dikemukakan oleh Bhāmaha, dapat diungkapkan sejumlah hal: (1).  Dapat diketahui kehadiran nāyikā dan pratināyaka, yaitu Dèwi Rěngganis dan Rěsi Majusi. (2). Dapat dipahami sambandha, yakni pengembaraan Běṭara Nurséwan ke Mukadam, yang lalu membentuk tiap-tiap satuan naratif dan mempertemukan nāyikā dan pratināyaka dalam teks kěṭoprak lampahan Rěngganis. (3) Kehadiran setiap karakter dapat membentuk itivṛtta, yang menyiratkan nilai estetika dan nilai etika. (4). Dalam hal nilai estetika, naratif teks kěṭoprak lampahan Rěngganis tetap mempertahankan nilai estetika yang terdapat dalam Rāmāyaṇa Sansekerta, yakni karuṇarasa yang dimanifestasikan melalui vīrarasa. (5). Nilai estetika ini dapat dijadikan pangkal pijak mengangkat nilai etika, yang harus dimulai dari tataran epik.
Dengan demikian dapat ditegaskan bagi para seniman bahwa untuk mengungkapkan nilai-nilai yang tersirat dalam lampahan-lampahan kěṭoprak, sangat ditekankan untuk menguasai itivṛtta lampahan-lampahan kěṭoprak dengan sempurna. Ia tidak perlu secara khusus dan eksplisit menampilkan ajaran-ajaran atau dogma-dogma tertentu kepada pemirsanya, karena dalam tradisi kěṭoprak Yogyakarta, lampahan kěṭoprak pada dasarnya merupakan penaratifan suatu ajaran atau dogma tertentu dengan nuansa yang ritualistik. Lampahan Rěngganis, dengan cemerlang berhasil menyajikan itivṛtta yang sangat menarik dan menyiratkan konsep dharma, ‘etika’ melalui rasa dan naratif itu ditunjukkan dengan yuddha, yang sebenarnya adalah peristiwa ritual yajña. Pengertian ini sangat penting diketahui dalam rangka penelusuran masalah etika dalam tradisi kěṭoprak Yogyakarta, karena sebagaimana diketahui bahwa ritual sebenarnya merupakan blue-print dari etika (Widyaseputra 2009: 27). Oleh sebab itulah penting kiranya dilakukan penelusuran-penelusuran yang lebih mendalam terhadap lampahan-lampahan kěṭoprak dari berbagai macam tradisi, sehingga melalui karya itu dapat dimengerti berbagai macam karakteristik etika yang dimiliki oleh semua etnis di Kepulauan Nusantara ini.


Daftar Pustaka
 
Anand, Amaladass, SJ., 1984 Philosophical Implications of Dhvani. Experience of Symbol Languages in Indian Aes­thetics. Vienna: Gerald & Co.
                   
Behrend, T. E., 1990, Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara I: Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Braginsky, V. I., 1998, Yang Indah, Berfaedah dan Kamal: Sejarah Sastra Melayu dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS.

Gerow, Edwin, 1971, A Glossary of Indian Figures Speech. The Hague-Paris: Mouton.

Hoadley, M.C. and M.B. Hooker, 1981, An Introduction to Javanese Law. A Translation of and Comentary on the Agama. Tucson, Arizona: The University of Arizona Press.

Jonker, Johann Christoph Gerhard, 1885, Een Oud-Javaansch Wetboek Vergeleken met Indische Rechtsbronnen. Proefschrift Rijksuniversiteit Leiden. Leiden: E.J. Brill.

Kuiper, F.B.J., 1979, “Vāruṇa and Vidūṣaka. On the Origin of the Sanskrit Drama”, VKNAWL, Nieuwe Reeks, Deel 100, Amsterdam, Oxford, New York: North- Holland Publishing Company.

MacDonall, Arthur Anthony, 1979, A Practical Sanskrit-English Dictionary. London: Oxford University Press.

Masson, J.L., and M.V. Patwardhan,  1969, Śāntarasa and Abhinavagupta’s Philosophy of Aesthetics. Poona: Bhandarkar Oriental Research Institute.

Hooykaas, C., 1958,  “The Old Javanese Rāmāyaṇa. An Exemplary Kakawin as to Form and Content”, VKNAWL, Nieuwe Reeks, Deel LXV, No. 1, Amsterdam: N.V. Noord-Hollandsche Uitgevers Maatschappij.

Pande, Anupa, 1993, The Nāṭyaśāstra Tradition and Ancient Indian Society. Jodhpur: Kusumanjali.

Peterson, Indira V., 1991, “Arjuna’s Combat with the Kirāta: Rasa and Bhakti in Bhāravi’s Kirātārjunīya”, in: Arvind Sharma, (ed), Essays on the Mahābhārata. Leiden-New York-København-Koln: E.J. Brill.

Pandey, K.B., 1944, “Dhanañjaya and Abhinavagupta on Śāntarasa”, Proceeding of the All India Oriental Conference 12, p. 326-350.

Poerbatjaraka, R.Ng., 1952, Kapustakan Djawi. Djakarta: Penerbit Djambatan.

Raghavan, V., 1967, Number of Rasas. Second Edition. Madras: Adyar Library.

Sastrulu, Vavilla Venkatesvara, 1952,  Kāvyadarśa˙. Madras.

Sastry, Naganatha, P.V., 1970, Kāvyālaṃkāra of Bhāmaha. Delhi, Varanasi, Patna: Motilal Banarsidass.

Shetterley, Indira V., 1976, “Recurrence and Structure on Sanskrit Literary Epics: A Study of Bhāravi’s Kirātārjunīya”, Harvard University PhD. Thesis, Department of Sanskrit and Indian Studies.

Smith, David, 1985, Ratnākara’s Haravijaya: An Introduction to the Sanskrit Court Epic. Delhi: Oxford University Press. 

Supomo, S., 1977, “Arjunawijaya. A Kakawin of Mpu Tantular”, BI 14. 2 vols. The Hague: Martinus Nijhoff.

Sutton, Nicholas, 2000, Religious Doctrines in the Mahābhārata. Delhi: Motilal Banarsidass Publisher Private Limited.

Tubb, Gary Alan, 1979, “The Kumārasambhava in the Light of  Indian Theories of the Mahākāvya”, Harvard University PhD. Thesis, Department of Sanskrit and Indian Studies.

Warder, A.K., 1990a, Indian Kāvya Literature. Volume Two: The Origins and Formation of Classical Kāvya. Delhi: Motilal Banarsidass Publishers PVT, LTD.

Widyaseputra, Manu J., 2001a, “Relevansi Analisis Tekstual dan Kontekstual untuk Memahami Pentas Wayang Kulit dalam Masyarakat Jawa Masa Kini: Sebuah Kasus tentang Lakon Pandhu Swarga”, Humaniora. Jurnal Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Volume XIII, no. 2, p. 194-203.

___________, 2009, Srikandhi: Strī Pūrvaṃ Paścāt Puṃstvam dalam Tradisi Wayang Yogyakarta. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.

Wiryamartana, I. Kuntara, 1990, Arjunawiwāha. Transformasi Teks Jawa Kuna Lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana Press.

Zoetmulder, P. J., 1985, Kalangwan. Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Penerjemah Dick Hartoko SJ. Jakarta: Penerbitan Jambatan. Cetakan II

___________., 2006, Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Penerjemah Darusuprapta, Sumarti Suprayitna. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Cetakan  VI

Zakariya Pamuji Aminullah

Pementasan Drama Jawa Narayana - Rukmini

" Aku ora ngapusi yayi. Tresnaku iki ora mung ing lathi, ananging tumurun ana ing ati, yo mung yayi sing dadi geganthilaning ati iki "
Sepenggal kalimat di atas adalah kalimat yang keluar dari mulut Narayana ketika ingin mempersunting Dewi Rukmini, putri Prabu Bismaka dari Kerajaan Kumbina. Keinginan Narayana untuk mempersunting Rukmini tidaklah semudah membalik telapak tangan walaupun sejatinya Narayana itu titisan Dewa Wisnu, berbagai halangan harus ia lewati untuk dapat bersanding dengan sang wanita pujaan.

    Prabu Panglebur Jagat, raja bangsa buta (denawa) di kerajaan Tumbak Waringin ingin memperistri Rukmini melalui sarana sayembara yang dibuat oleh Prabu Bismaka, ayah Rukmini. Sayembara tersebut berbunyi barang siapa yang bisa menjawab tebakan dari Rukmini maka ia akan dinikahkan dengan Rukmini. Prabu Panglebur Jagat meminta pendapat dari Togog, abdinya di kerajaan Tumbak Waringin. Togog memberikan pendapat yang menyesakkan dada yaitu Sang Prabu tidak akan bisa memboyong Rukmini ke negara ini, perkataan tersebut membuat Sang Prabu murka sehingga ia nekat pergi menuju kerajaan Kumbina karena ingin mengikuti sayembara tersebut.


    Dilain pihak Narayana ingin lepas dari dekapan adiknya yang manja yaitu Dewi Wara Sembadra, agar ia dapat bertemu dengan Dewi Rukmini. Saat tertidur pulas akhirnya ia meninggalkan adiknya. Ketika Sembadra menyusul sang kakak tiba - tiba ia dihadang oleh sekawanan buta(denawa) yang dipimpin oleh Raden Rangsang Wiraga, akan tetapi sekawanan buta tersebut dapat dikalahkan oleh Prabu Baladewa. Kemudian Prabu Baladewa bersama Sembadra dan Udawa pergi ke negara Kumbina untuk menyusul Narayana. Di Taman Keputren Kerajaan Kumbina, Dewi Rukmini sedang gundah gulanah karena sebentar agi ia akan disayembarakan oleh ayahnya. Sesungguhnya ia mencintai Narayana, namun Narayana sendiri tidak segera mempersuntingnya. Tiba - tiba Narayana datang secara diam - diam menemui Dewi Rukmini, namun Sang Dewi masih saja tetap sedih.
    Sayembara yang dibuat oleh Prabu Bismaka terdengar hingga Kerajaan Ngastina, saat itu pula Begawan Durna ingin mengikutinya, dengan disertakan oleh Prabu Duryudhana dan Patih Sengkuni mereka semua menuju ke Negera Kumbina untuk mengikuti sayembara tersebut, akan tetapi setibanya di negara Kumbina dan bertemu dengan Dewi Rukmini ia tidak mampu menjawab teka - teki yang diajukan oleh Dewi Rukmini yaitu " apa werdhinipun rasa sejati, sejatining rasa ". Akibatnya Dewi Rukmini dipaksa oleh Begawan Durna untuk mau menikah dengannya. Dewi Rukmini berusaha menghindar dari paksaan Begawan Durna, kemudian ia bertemu dengan Narayana kembali yang saat itu sedang bertapa. Rukmini menceritakan apa yang baru saja terjadi pada dirinya, seketika Narayana menyembunyikan Rukmini di "kancing gelung"nya dan merapal mantra tiwikrama untuk berubah menjadi Buta Brahala. Buta Brahala itu kemudian menyerang Begawan Durna yang sedari tadi mengejar Rukmini. Begawan Durna kalang kabut melihat Brahala dihadapannya, saat itu juga ia bertemu dengan Permadi (Arjuna) dan menceritakan apa yang terjadi. Permadi menjanjikan akan mengalahkan Brahala yang mengejar Begawan Durna.
    Namun saat berhadapan dengan Brahala, Permadi justru terkejut karena sang Brahala berubah wujud menjadi Narayana. Narayana menceritakan kejadian yang sebenarnya, kemudian Narayana menyuruh Arjuna untuk bertemu dengan Prabu Bismaka membawa sebuah bunga yang nantinya akan berubah menjadi dirinya ketika berada dihadapan Prabu Bismaka, sedangkan Narayana sendiri akan menghadapi Prabu Panglebur Jagat yang ingin mempersunting Dewi Rukmini. Saat bertemu dengan Prabu Panglebur Jagat, Narayana bertarung dan berhasil mengalahkannya, kemudian Narayana bertiwikrma (berubah wujud) seperti Prabu Panglebur Jagat, buta yang baru saja dikalahkannya agar bisa bertemu dengan Prabu Bismaka.
Saat pesewakan agung kerajaan Kumbina, Begawan Durna melapor kepada Prabu Bismaka bahwa Dewi Rukmini telah diculik oleh Brahala jelmaan Narayana, tidak lama kemudian datang Arjuna beserta Narayana (palsu) dan menyerahkan Narayana (palsu) kepada Prabu Bismaka. Prabu Bismaka kemudian menyuruh seluruh prajurit kerajaan Kumbina untuk membakar Narayana (palsu) hidup - hidup karena telah melakukan perbuatan tercela yaitu menculik putri kerajaan Kumbina. Akan tetapi belum juga pelaksanaan hukuman terhadap Narayana (palsu) berlangsung, datang seorang patih kerajaan yang melaporkan bahwa saat itu ada buta bernama Panglebur Jagat (jelmaan Narayana) yang mengamuk menghancurkan apa saja yang ada dihadapannya. Prabu Bismaka kemudian menyuruh Arjuna untuk menghadapi buta (denawa) tersebut. Arjuna kemudian bergegas untuk berhadapan dengan Prabu Panglebur Jagat, akan tetapi setelah bertemu dengan Prabu Panglebur Jagat (jelmaan Narayana) justru Arjuna kuwalahan menghadapinya sehingga ia meminta pendapat kepada punakawannya yaitu Ki Lurah Semar. Semar mengatakan bahwa yang bisa menghentikan tingkah laku buta tersebut hanyalah putri Prabu Bismaka yaitu Dewi Rukmini. Di lain pihak buta Prabu Panglebur Jagat (jelmaan Narayana) sudah bertemu dengan Dewi Rukmini kemudian ia berubah menjadi Narayana kembali dan mereka berdua segera bertemu dengan Prabu Bismaka untuk meminta restu agar dapat bersanding dipelaminan.

Narayana dan Dewi Rukmini sudah bertemu dengan sang Prabu Bismaka, dan mengatakan sumpah janji suci untuk bersama selamanya hingga maut menjemput. Prabu Bismaka yang terenyuh menderngar perkataan dua insan sejoli ini kemudian mengizinkan keduanya untuk bersanding. Akhirnya setelah melewati masa - masa yang sulit, Narayana berhasil mempersunting Dewi Rukmini perempuan pujaan hatinya.

   Mengambil latar belakang cerita wayang lakon " Narayana Maling ", sepenggal kisah tersebut disajikan dalam balutan drama berbahasa Jawa oleh Keluarga Mahasiswa Sastra Nusantara, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada dalam rangka peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional (jatuh pada tanggal 28 Februari) sedangkan pementasan tersebut diselenggarakan pada tanggal 2 Maret 2012 mulai pukul 19.30 wib di Pendapa Rumah Budaya Tembi. Pagi hingga siang harinya di Ruang Multimedia FIB UGM diselenggarakan diskusi publik dengan mengangkat tema " Eksistensi Bahasa Ibu ". Dalam pementasan tersebut, semua pemain karakter wayang dan penari adalah para mahasiswa aktif jurusan Sastra Nusantara UGM angkatan 2008 - 2011. Sedangkan penabuh gamelan, sinden, serta pemain alat musik tambahan sebagian besar para mahasiwa jurusan Sastra Nusantara dan beberapa dari jurusan Antropologi serta wiraswara tamu yaitu Paksi Raras Alit (Jasmine). Pengarah adegan adalah salah satu teaterawan DIY yaitu Lik Suyanto yang bersedia berbagi pengalaman di dunia akting. Proses produksi drama berlangsung selama satu setengah bulan. Ketua jurusan Sastra Nusantara, Suharto Mangkusudarmo, Drs. M.Hum mengatakan bahwa "kegiatan seperti ini sangat penting guna meningkatkan kreativitas para mahasiswa sekaligus menunjukkan eksistensi bahasa Jawa, para dosen sangat berbangga dengan keberhasilan pementasan drama Jawa ini, semoga dalam perjalanan selanjutnya para mahasiswa mampu mempersembahkan pementasan - pementasan yang lain".

Mahmud Mada Hidayat

Rabu, 25 Juli 2012

Transformasi Kebaya (Potret Revolusi Busana Keanggunan)


            Kebaya terus berevolusi seiring dengan berkembangnya zaman. Menurut sejarahnya, awal mula kebaya yakni pada abad ke-15 Masehi, yang mana pada saat itu kebaya merupakan busana perempuan Indonesia, terutama perempuan Jawa, yang berupa atasan yang dikenakan bersama dengan kain. Menurut Ferry Setiawan, seorang perancang busana, pada tahun 1940-an, kebaya pernah dipilih oleh Presiden Soekarno sebagai kostum nasional. Pada saat itu kebaya dianggap sebagai busana tradisional perempuan Indonesia. Kebaya juga pernah menjadi lambang emansipasi perempuan Indonesia, sehubungan dengan pakaian yang dikenakan oleh tokoh kebangkitan perempuan Indonesia, Raden Ajeng Kartini.
Pendapat yang lain menyatakan bahwa kebaya dibawa oleh orang Portugis di Malaka. Tidak hanya dikenakan oleh perempuan Melayu, tapi juga dikenakan oleh perempuan Cina peranakan. Namun  kebaya yang dikenakan oleh perempuan Cina peranakan ini sedikit berbeda potongan dan cara memakainya, yang kemudian kebaya ini dikenal dengan nama kebaya encim. Namun ada juga yang mencatat bahwa kebaya berkaitan erat dengan pakaian panjang wanita pada masa kekaisaran Ming di Tiongkok. Gaya ini pengaruhnya kemudian menyebar ke Asia Selatan dan Tenggara sekitar abad ke-13 sampai abad ke-16 Masehi melalui penyebaran penduduk dataran Tiongkok. Lalu menyebar pula ke Malaka , Jawa, Bali, Sumatera dan Sulawesi.
Perkembangan kebaya erat pula kaitannya dengan penyebaran agama Islam di Indonesia sekitar abad ke-15 Maasehi, terlihat pada perkembangan kerajaan-kerajaan Jawa kuno ke masa Kesultanan atau Kerajaan Islam di pulau Jawa. Pada tahun 1600, kebaya secara resmi dikenakan oleh keluarga kerajaan, hal ini ditunjukkan dalam dokumentasi lama Kerajaan Islam Cirebon, Surakarta maupun Yogyakarta. Pada tahun 1970-an, kiblat dunia mode Indonesia berpaling ke Eropa dan Amerika Serikat karena pengaruh budaya popnya mengalir deras dan kuat. Sehingga pada saat itu kebaya dianggap ketinggalan zaman, dan mulai ditinggalkan dan hanya dikenakan pada acara resmi atau pada acara resepsi.
Dewasa ini, kebaya telah berkembang pesat dan semakin banyak peminatnya, tidak hanya dikenakan oleh kaum ibu, tapi juga mulai diminati oleh perempuan muda di negeri ini. Ibu-ibu yang memasuki usia senja kebanyakan masih menggunakan kebaya klasik sehari-harinya. Namun kebaya di kalangan umum saat ini, banyak dikenakan oleh perempuan Indonesia pada acara-acara resmi, seperti wisuda, acara pernikahan, dan upacara adat. Semakin banyak variasi berkebaya saat ini, mulai dari penyesuaian bahan, desain dan aksesorinya. Sehingga kebaya menjadi busana yang glamour di tengah suasana pesta.

F. Widjanarko


LESMANA (Antara Sumpah dan Kewajiban)


Lesmana adalah saudara muda dari Ramabadra, yang terlahir dari tunggal ayah dan lain ibu. Ia adalah putra Prabu Dasarata yang merupakan raja dari negara Madyapura dengan permaisurinya Dewi Lesmanadari. Pada waktu Leksama dilahirkan, Dewi Lesmanadari diculik oleh Dasamuka dan dibawa ke negeri Alengka, sehingga Leksmana terpaksa memperoleh air susu dari Mulyandari. Dewi Mulyandari adalah wanita yang menyusui Ramabadra, sehingga tidaklah heran ketika Ramabadra dan Leksamana memiliki hubungan yang sangat erat, sebab mereka dibesarkan dari air susu yang sama pula.

Kedekatan hubungan yang terjalin antara Leksmana dan Ramabadra pun terlihat sejak mereka masih kecil. Potret kedekatan mereka ditunjukan dengan diperolehnya pusaka yang kelak digunakan sebagai senjata mereka secara bersama-sama. Ramabadra mendapat pusaka Wijayastra dari Bathari Wisnu, sedangkan Leksmana memperoleh senjata yang berupa panah Aryasengkali dari Bhatara Basuki.
Leksama tergolong tokoh wayang alusan dengan karakter luruh dan posisi muka tumungkul. Sosok Leksmana digambarkan dengan bentuk mata liyepan,   hidung  walimiring, serta mulut salitan. Ia mengenakan mahkota gelung sapit urang dengan hiasan turida, jamang, dan memakai sumping mangkarai, serta rembing.

Disisi lain, pada badan alusan,  Laksmana mengenakan kalung tanggalan, dengan posisi kaki pocong polos yang bermotif semen jrengut seling gurda. Disamping itu, terdapat atribut yang melengkapi Leksaman pada bagian badan yaitu kelatbahu naga pangangrang, gelang calumpringan, dan memakai keroncong. Pada umumnya, Laksmana ditampilkan dengan sunggingan brongsong.

Leksmana sejatinya merupakan tokoh yang takberistri. Hal tersebut terlihat dalam penggalan cerita Ramayana ketika Ramabadra dan istrinya berdiam diri di hutan atas perintah orang tuanya. Ketika Ramabadra dan Dewi Sinta berdiam diri di hutan, dewi sinta meminta kijang kecana yang saat itu sedang diburu oleh  Ramabadra. Pada saat setelah terkena panah dan terluka, kijang kencana tersebut berubah menjadi Kalamarica dan berteriak. 

Suara teriakan Kalamarica yang sangat keras dikira oleh Dewi Sinta adalah suara dari Ramabadra yang memperoleh halangan. Seketika itu pula, Dewi Sinta meminta kepada Leksmana untuk menyusul kakandanya, tetapi Leksmana tidak mau karena telah mengemban mandate untuk tidak meninggalkan Dewi Sinta sendiri di dalam hutan. Ketidakmauan Leksaman untuk pergi menyusul Ramabadra membuat Dewi Sinta marah dan beranggapan bahwa Leksaman akan mengawini dirinya secara diam-diam. Mendengar perkataan Dewi Sinta yang begitu memekikan talinga, seketika itu pula Leksmana bersumpah untuk tidak akan menikah selamanya.

Sumber:
Sunarto, Drs, M.hum, dan Sagio. 2004. Wayang Kulit Gaya Yogyakarta Bentuk dan Ceritanya. Yogyakarta: Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

F. Widjanarko