Serimpi atau simpi merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut penari wanita di istana. Menurut Prof. Dr. Priyono[1], nama Srimpi terkait dengan akar kata pembentukannya yaitu impi atau mimpi. Hal tersebut didasarkan pada proses pelaksanaan tari yang berlangsung selama hampir satu jam dengan gerakan penari yang gemulai serta gendhing iringan yang halus dan tempo yang cenderung pelan, sehingga orang seakan dibawa kedalam alam mimpi saat menyaksikannya. Berdasarkan Baoesastra Djawa[2] dipaparkan pula bahwa srimpi adalah lelangen jogged, sing jogged wong wadon cacahe papat ‘seni tari klasik yang ditarikan oleh perempuan berjumlah empat’.
Akan
tetapi, tidak seluruh dari tari Srimpi hanya
ditarikan oleh empat penari, layaknya Srimpi
Renggowati yang ditarikan oleh lima penari. Berdasarkan perananya, empat
orang penari berperan sebagai serimpi, sedangkan seorang penari perberan
sebagai Dewi Renggowati.
Srimpi Renggowati adalah lelangen
joged mataram yang diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono ke VII,
dengan dasar latar belakang petikan cerita dari Anglingdarmo (Mardhana, 1981:42-43). Didalam Srimpi Renggowati, diceritakan tentang
Prabu Anglingdarma yang karena kutukan Dewa menjadi burung Belibis putih dalam
pengembaraannya ia mencari titisan Dewi Setyawati isterinya yang telah meninggal
dunia karena melakukan pati obong[3].
Sampailah burung Belibis jelmaan Prabu Anglingdarmo di taman
Bojonegara. Bertenggerlah ia diatas pohon Sumarsana wilis, secara kebetulan
pada saat itu Dewi Renggowati sedang bercengkerama ditaman dan tertarik burung
belibis putih tersebut. Segeralah burung belibis jelmaan prabu ditangkapnya. Singkat cerita kemudian burung
belisbis putih berubah menjadi Prabu Anglingdarmo, dan sang prabu mengetahui
bahwa
Dewi Setyawati telah menitis dalam tubuh Dewi Renggowati.
Demikianlah
latar belakang yang mendasari Sri Sultan Hamengku Buwono ke VII menciptakan beksan Srimpi Renggowati. Namun yang
menjadi perhatian disamping kelembutan tarian dan latar belakang sejarah
pembentukan tarian tersebut, kepentingan sakralisasi dan aspek mitis juga menjadi
tinjauan utama.
Sejatinya Srimpi Renggowati
adalah tarian sakral yang jarang dipentaskan. Hal tersebut dikarenakan
banyaknya proses serta syarat yang harus dipenuhi oleh penari agar dapat
menarikan serta mementaskan Srimpi
Renggowati. Syarat yang harus dipenuhi yakni diantaranya adanya penari muda
yang masih suci dan mumpuni dalam menarikan tari Srimpi Renggowati, sebab sebelum mementaskan tarian Srimpi Renggowati para penari harus
menjalani laku tirakat dan puasa guna
mensucikan diri.
Beratnya proses yang harus dijalani oleh para penari pada dasarnya
sejalan dengan filosofi lelangen jogged
mataraman yang mengedepankan empat unsur yaitu sawiji, greget, sengguh, lan ora mikuh[4]
atau dapat dimaknai dengan berkonsentrasi secara penuh, berkemauan keras, bersungguh-sungguh,
serta dalam pelaksanaannya tidak mudah terpengaruh oleh godaan.
F. Widjanarko
[1]
Mardhana, wisnu, RM. 1981. Macam-macam Tari Tunggal, Beksan, dan Tarian
Sakral Gaya Yogyakarta dalam Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta. Yogyakarta:
Percetakan Ofset “Liberty”.
[2] Poerwadarminta. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J. B. Wolters
Uitgevers Maatschappij.
[3]
Soedarsono, dkk. 2000. Misteri Serimpi. Yogyakarta: Yayasan
Untuk Indonesia.
[4] GBPH Suryobrongto. 1981. Penjiwaan dalam Tari Klasik Gaya Yogyakarta
dalam Mengenal Tari Klasik Gaya Yogyakarta. Yogyakarta: Percetakan Ofset
“Liberty”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar