Rabu, 25 Juli 2012

JAMADAGNI MUKSWA (PERISTIWA GUGURNYA GOLONGAN KSATRIA)



Dalam rangka peringatan hari jadi  Perkumpulan Kesenian Irama Tjitra Yogyakarta yang ke-63, Kamis, 31 Mei 2012 Perkumpulan Kesenian Irama Tjitra Yogyakarta yang didukung oleh Yayasan Pamulangan Beksa Sasmita Mardawa, Yayasan Siswa Among Beksa, Surya Kencana Retno Aji Mataram,Wirogo Apuletan dan Sekolah Menengah Kesenian Indonesia (SMKI) mencoba menampilkan Pentas Langen Rena Rinakit dengan lakonJamadagni Mukswa’ yang bertempat di Pendhopo Widhi Widhana SMKI Yogyakarta.
Pertunjukan wayang wong Pentas Langen Rena Rinakit yang dikolaborasikan dengan seni kethoprak, cukup banyak menyita perhatian masyarakat. Banyak orang berbondong-bondong untuk melihat petunjukan yang memakan waktu kurang lebih dua jam itu. Penampilan yang mengesankan dan bintang tamu yang sangat menghibur seperti Dalijo dan Wisben menjadikan panggung semakin meriah. Apalagi saat Dalijo dan Wisben muncul pada bagian goro-goro, saat itu Dalijo menjadi tokoh Gareng dan Wisben menjadi tokoh bagong, gelak tawa dan riuh tepuk tangan penonton tidak dapat dihindari. Adegan-adegan saat Gareng mengerjai Bagong sangat lucu dan mengagetkan.
Selain itu cerita yang dibawakan pun menarik, menegangkan bahkan terdapat pula romantismenya. Cerita Jamadagni Mukswa dimulai dari seorang titisan dari Dewa Wisnu yang bernama Ramaparasu (Rama Bargawa) dan Jamadagni yang turun ke Bumi. Kehadiran Jamadagni ke dunia pada zaman itu adalah untuk memerangi kebatilan. Akan tetapi petaka muncul ketika ayah Jamadagni mengutusnya untuk membunuh Renuk, ibu kandungnya sendiri. Hal itu dikarenakan ibunya yang dianggap telah berselingkuh dengan golongan ksatriya. Peristiwa tersebut menjadikan Jamadagni membenci golongan ksatriya, dan berusaha untuk membunuh satu persatu golongan kesatriya yang ada pada zaman itu. Jamadagni yang tidak terkalahkan, kemudian diberitahu oleh Bathara Narada bahwa ada seorang golongan ksatriya yang bernama Rama (anak Dasarata) yang sakti  mandraguna yang dapat mengalahkannya kelak.
Pertunjukan yang berkisar kurang lebih dua jam itu ternyata melibatkan banyak pemain dan pengrawit. Pemain sendiri secara keseluruhan dari tokoh utama dan tokoh pendukung, jika ditotal lebih dari duapuluh orang. Selain itu pemain wayang wong ada yang merupakan sedherek Kraton seperti RM. Pramutomo dan RM. Kuswananto Kuncaradewa. Dari pengrawit sendiri juga banyak, karena gamelan pelog dengan slendro memiliki penabuh sendiri-sendiri. Belum lagi dengan penyanyi dan kethopraknya.
Secara keseluruhan pertunjukan yang diadakan di Pendhopo Widhi Widhana SMKI Yogyakarta kemarin sangat meriah dan mengesankan. Hanya saja saat kethoprak kurang adanya hubungan timbal balik antara penonton dengan panggung. Mungkin karena orang-orang pada bagian kethoprak hanya duduk dan berdialog saja, mereka tidak memakai gerakan-gerakan pendukung. Tetapi hal tersebut dapat ditutupi dengan cerita yang mengagumkan dan saat goro-goro berlangsung. Seperti pepatah yang mengatakan ‘tak ada gading yang tak retak’. Dan bagi saya tak ada pertunjukan yang sempurna, karena dengan ketidaksempurnaan itulah kita dituntut untuk belajar.

Fasaroh M.J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar