Dalam
rangka peringatan hari jadi Perkumpulan
Kesenian Irama Tjitra Yogyakarta yang ke-63, Kamis, 31 Mei 2012 Perkumpulan
Kesenian Irama Tjitra Yogyakarta yang didukung oleh Yayasan Pamulangan Beksa
Sasmita Mardawa, Yayasan Siswa Among Beksa, Surya Kencana Retno Aji
Mataram,Wirogo Apuletan dan Sekolah Menengah Kesenian Indonesia (SMKI) mencoba menampilkan
Pentas Langen Rena Rinakit dengan lakon ‘Jamadagni Mukswa’ yang bertempat di Pendhopo Widhi Widhana SMKI
Yogyakarta.
Pertunjukan
wayang wong Pentas Langen Rena Rinakit
yang dikolaborasikan dengan seni kethoprak,
cukup banyak menyita perhatian masyarakat. Banyak orang berbondong-bondong
untuk melihat petunjukan yang memakan waktu kurang lebih dua jam itu.
Penampilan yang mengesankan dan bintang tamu yang sangat menghibur seperti
Dalijo dan Wisben menjadikan panggung semakin meriah. Apalagi saat Dalijo dan
Wisben muncul pada bagian goro-goro,
saat itu Dalijo menjadi tokoh Gareng dan Wisben menjadi tokoh bagong, gelak
tawa dan riuh tepuk tangan penonton tidak dapat dihindari. Adegan-adegan saat
Gareng mengerjai Bagong sangat lucu dan mengagetkan.
Selain
itu cerita yang dibawakan pun menarik, menegangkan bahkan terdapat pula
romantismenya. Cerita Jamadagni Mukswa
dimulai dari seorang titisan dari Dewa Wisnu yang bernama Ramaparasu (Rama
Bargawa) dan Jamadagni yang turun ke Bumi. Kehadiran Jamadagni ke dunia pada
zaman itu adalah untuk memerangi kebatilan. Akan tetapi petaka muncul ketika
ayah Jamadagni mengutusnya untuk membunuh Renuk, ibu kandungnya sendiri. Hal
itu dikarenakan ibunya yang dianggap telah berselingkuh dengan golongan
ksatriya. Peristiwa tersebut menjadikan Jamadagni membenci golongan ksatriya,
dan berusaha untuk membunuh satu persatu golongan kesatriya yang ada pada zaman
itu. Jamadagni yang tidak terkalahkan, kemudian diberitahu oleh Bathara Narada bahwa
ada seorang golongan ksatriya yang bernama Rama (anak Dasarata) yang sakti mandraguna yang dapat mengalahkannya kelak.
Pertunjukan
yang berkisar kurang lebih dua jam itu ternyata melibatkan banyak pemain dan pengrawit. Pemain sendiri secara
keseluruhan dari tokoh utama dan tokoh pendukung, jika ditotal lebih dari
duapuluh orang. Selain itu pemain wayang
wong ada yang merupakan sedherek Kraton
seperti RM. Pramutomo dan RM. Kuswananto Kuncaradewa. Dari pengrawit sendiri juga banyak, karena gamelan pelog dengan slendro
memiliki penabuh sendiri-sendiri. Belum lagi dengan penyanyi dan kethopraknya.
Secara keseluruhan
pertunjukan yang diadakan di Pendhopo Widhi Widhana SMKI Yogyakarta kemarin
sangat meriah dan mengesankan. Hanya saja saat kethoprak kurang adanya hubungan timbal balik antara penonton
dengan panggung. Mungkin karena orang-orang pada bagian kethoprak hanya duduk dan berdialog saja, mereka tidak memakai
gerakan-gerakan pendukung. Tetapi hal tersebut dapat ditutupi dengan cerita
yang mengagumkan dan saat goro-goro
berlangsung. Seperti pepatah yang mengatakan ‘tak ada gading yang tak retak’.
Dan bagi saya tak ada pertunjukan yang sempurna, karena dengan
ketidaksempurnaan itulah kita dituntut untuk belajar.
Fasaroh M.J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar